Minggu, 22 Juli 2012

OKAMI SAGA - First Part

(Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2012)


OSIS 


Sudah hampir satu jam berlalu sejak Pak Rudi, guru fisika kami yang merupakan seorang perjaka tua, mengajarkan teori relativitas Einstein. Hampir semua murid di kelas melakukan kegiatan lain selain mendengarkan ‘khotbah’ membosankan darinya seperti bermain handphone hingga berkhayal dengan muka mesum seperti Vincent, teman duduk sebelahku. 

Bukannya Pak Rudi tidak peduli dengan ulah para murid kelas XI-2 IPA ini, namun ia sudah puas asalkan ada satu atau dua orang yang memperhatikannya seperti si cantik Diana yang duduk di paling depan. Ketua OSIS kami yang juga merupakan primadona sekolah tersebut selalu serius belajar setiap mengikuti pelajaran apapun. Selain memiliki wajah rupawan, kulit putih, dan tubuh semulus penyanyi Beyonce, ia juga sangat berbakat dalam seluruh bidang olahraga. 

TUK

“Aduh! Sakit tau!” decakku dengan sebal karena dipukul dengan pulpen oleh si mesum Vincent. 

“Elo ngeliat ke mana? Itu si perjaka ting tong lagi nerangin fisika kok elo malah fokusnya ke si primadona? Mikir apa hayooo,” ejek Vincent. 

“Heh, gue cuman lagi mikirin ujian seni musik nanti. Suara gue kan bagus, takut menjatuhkan mental murid lainnya gitu loh.” 

Vincent spontan menusuk dadaku dengan ujung pulpen sampai aku hampir saja berteriak kesakitan. 

“Aduh!! Sakit tau dasar bego mesum!” 

“Hush! Daripada elo mikir hal ga penting, mending cariin cara untuk kita ‘selamat’ di ujian nanti dari dia,” ujar si mesum sambil melirik ke arah sang primadona. 

Aku mengikuti Vincent melirik primadona sepintas dan melihat jam dinding di atas whiteboard. Pelajaran fisika hampir berakhir dan dilanjutkan dengan seni musik. Pelajaran yang menyenangkan bagi sebagian orang namun menyengsarakan bagi yang lainnya. 


***


Dan dimulailah saat-saat menyengsarakan tersebut. 

“Diana Valentine.” 

Nama sang primadona dipanggil oleh Ibu Anisa, guru seni musik kami sekaligus penasihat OSIS yang masih muda. Biasanya, seluruh mata murid sekelas akan berbinar-binar setiap melihat primadona berjalan dengan anggun bak model kelas dunia. Sayangnya, hal ini tidak berlaku setiap ujian seni musik. 

“Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Anisa dan teman-teman sekalian. Untuk ujian kali ini, saya akan menyanyikan Yamko Rambe Yamko, lagu daerah dari Papua,” pidato singkat sang primadona sebelum mulai bernyanyi. Nyanyiannya terdengar seperti klakson truk berat. 

“Suaranya bahkan bisa membuat zombie mati,” bisik Vincent sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. 

Meskipun memiliki suara yang kurang bagus, ia tetaplah seorang primadona yang sempurna bagiku. 


Dari empat... Menjadi... Tiga... 


DUARRRRR!!! 

“!!!” 

Seisi kelas langsung terkaget ketika mendengar ledakan tersebut. 

Lycan...,” ucap primadona dengan tiba-tiba sambil berlari ke luar kelas. 

Seluruh murid panik, namun Ibu Anisa menenangkan kelas dengan mengatakan bahwa OSIS dapat mengatasinya. 

“Percayalah semuanya, Diana dan anggota OSIS lain dapat mengatasi serangan para Lycan tersebut. Mari kita mendoakan keselamatan mereka dari sini, dan jangan ada yang beranjak keluar dari kelas,” ajak Ibu Anisa dengan suaranya yang menenangkan. 

“Hmm.. Setidaknya kita tidak perlu mendengar nyanyian Diana untuk sementara. Ya kan Vi-... Alvin?” ujar Vincent yang terkejut ketika melihatku beranjak dari kursi dan berlari keluar kelas. 

Aku berlari mengejar primadona tanpa menghiraukan teriakan Vincent maupun Ibu Anisa. Aku sangat ingin melihat pertarungannya dengan para Lycan, manusia setengah serigala dengan kemampuan fisik yang lebih unggul dari manusia pada umumnya. 

Setelah berlari menyusuri lorong sekolah yang seolah tak berujung ini, aku menuruni tangga untuk menuju ke wilayah laboratorium sains di lantai satu. Sebuah kepulan asap putih tampak menyembur dari dalam ruang laboratoium fisika. Aku segera memasuki ruang tersebut dan mendapati adegan pertarungan yang menakjubkan. 

“Haiiittt!!”

Sang primadona menghujamkan pukulan mautnya bertubi-tubi pada tiga... ah empat ekor Lycan yang datang menyerbunya dari berbagai arah. Para Lycan tersebut menggunakan celana abu-abu, yang berarti mereka sebelumnya adalah para murid.

“Hiaattt!!”

Tendangan primadona mengenai telak kepala seekor Lycan yang menyerang dari belakang dirinya. Lycan tersebut jatuh tersungkur di lantai dan sang primadona mengambilnya untuk melemparnya ke arah dua ekor Lycan lain yang mencoba mendekati primadona.

Satu ekor Lycan tiba-tiba menyerang dari arah atas ketika sang primadona tampak tak menyadarinya, namun sebuah anak panah tiba-tiba melesat dan menembus persis bagian tengah kepala Lycan malang tersebut hingga darah berhamburan. Seorang cewe berkuncir kuda dan kurus pendek berdiri di belakangku.

“Apa yang murid biasa lakukan di sini? Cepat pergi dan berlindung di salah satu kelas!” teriak cewe bermuka judes yang kukenal sebagai salah satu anggota OSIS.

“Alvin!? Apa yang kau lakukan di sini?” teriak primadona sambil menendang perut seekor Lycan yang menerjangnya tiba-tiba. “Elisa, antarkan dia ke kelas terdekat. Aku masih bisa menangani semuanya sendirian di sini.”

“Hm, oke. Kalau begitu hati-hati-.. AWASS!!”

Seekor Lycan tinggi berjas praktikum tiba-tiba menerjang primadona, namun ia terlambat menyadarinya. Cakarnya yang tajam hampir merobek perutnya, namun panah yang dilesatkan Elisa ke arah lengan Lycan tersebut dan gerakan reflek primadona berhasil meminimalisir luka yang timbul.

“Ia pasti Pak Timothy, guru praktikum fisika yang dijuluki sebagai tiang listrik. Hati-hati Diana,” ujar Elisa sambil menyiapkan beberapa anak panah sekaligus. Sang primadona mengangguk pelan dan menyiapkan kuda-kuda untuk mulai menyerang Pak Timothy.

Aku berjalan mundur perlahan keluar dari ruang praktikum karena masih ingin menyaksikan pertarungan tersebut dari jarak aman, namun seekor Lycan pendek yang mengenakan rok abu-abu tiba-tiba saja muncul dari arah belakangku dan menyerang... Elisa.

“AWAS!!” teriak primadona namun terlambat.

Tangan Elisa berhasil dilukai dengan parah ketika ia melesatkan anak panahnya tepat ke arah mata Lycan pendek tersebut. Darah segar mengalir membasahi lengannya yang putih.

Lycan Pak Timothy tiba-tiba menerjang primadona hingga berhasil menjatuhkannya, kemudian ia langsung menerkam Elisa yang lengah akibat serangan sebelumnya.

“ELISAAAAA!!”

Primadona berteriak kencang dengan wajah pucat ketika melihat rekannya dimutilasi dalam sekejap oleh Lycan Pak Timothy. Hujan darah terjadi tepat di hadapanku.

Primadona tampak kesulitan untuk bangun, sedangkan Lycan tinggi tersebut kini memalingkan wajahnya ke arahku setelah puas mencabik-cabik tubuh yang sudah tak bernyawa lagi di hadapanku.


***


Hujan turun dengan deras, namun prosesi pemakaman Elisa yang cukup mewah berjalan dengan lancar.

Sang wakil ketua OSIS kami yang berwajah jutek tersebut telah gugur dalam pertempuran di ruangan praktikum. Seluruh teman dekat dan keluarganya menangis sejadi-jadinya di dekat makam tempat Elisa berbaring untuk selamanya. Dua anggota OSIS yang lain datang membantu tepat pada waktunya sehingga seluruh Lycan di ruangan praktikum berhasil dibunuh.

Primadona masih berdiri di dekat makam Elisa, berusaha untuk menegarkan wajahnya yang tampak pucat.

“Usa... Ah, maksudku Diana,” ucapku sambil menghampiri primadona dengan perlahan, “Aku turut berduka atas kepergian salah satu anggotamu.”

Primadona masih berdiam sejenak sebelum akhirnya memandangkan wajah cantiknya ke arahku.

“Al-.. Oka, apa yang kamu lakukan waktu itu? Kamu mungkin memiliki indigo unik yang membuatmu tidak pernah diserang para Lycan saat tidur sekalipun, namun keberadaanmu waktu itu menyulitkan aku dan Elisa dalam membasmi para Lycan...,” lirih primadona.

Indigo merupakan istilah yang mengacu pada kekuatan terpendam seseorang. Hanya aku dan primadona yang mengetahui indigo unik yang kumiliki ini.

“Kita adalah teman sepermainan sejak kecil, jadi seharusnya kamu bisa mengerti keadaanku sebagai seorang ketua OSIS kan? Kami ada untuk melindungi kalian semua, para murid dan guru SMA Sumpah Pemuda 1,” ucap primadona dengan suara bergetar.

Primadona dan aku sudah saling kenal sejak masih kecil. Ia kupanggil Usagi, atau Usa, yang berarti kelinci dalam bahasa Jepang. Nama itu kuberikan karena kulitnya yang putih bersih dan sayuran kegemarannya adalah wortel, seperti kelinci. Sebaliknya, primadona menjulukiku Okami yang berarti serigala karena indigo yang kumiliki seolah-olah membuatku seperti dewa para Lycan. Panggilan Oka berasal dari julukan tersebut.

Lycan sendiri konon merupakan alien yang datang ke bumi dan menyebarkan semacam virus yang disebut Lycanolog. Virus tersebut dapat menyebabkan manusia berubah wujud menjadi Lycan tanpa dapat kembali ke wujud manusia. Keberadaan mereka baru diketahui khalayak umum sejak 17 tahun yang lalu. Lycan yang berasal dari luar angkasa disebut sebagai Lycan Alpha, atau sebagian orang menyebut mereka sebagai Okami.

“Sekarang apa yang harus ku-... ”

Primadona berhenti berkata-kata ketika aku mengusap keningnya seperti yang sering kulakukan padanya waktu kami masih kecil dulu.

“Yang berlalu biarlah berlalu. Aku mau mencoba tes masuk OSIS yang akan diadakan minggu depan,” ucapku sambil tersenyum.

Muka primadona yang sedari tadi muram berubah jadi terkejut.

“HAH? Kamu yakin Oka? Kamu mungkin punya keuntungan karena memiliki indigo yang unik, tapi yakin bisa lolos? Nilai kamu kan jelek-jelek,” tanggap primadona spontan atas ucapanku sebelumnya.

“Yah mungkin aja kan hoki-..”

Honeyyy!? Kamu ngapain sama orang aneh itu?” teriak seorang cowo berkulit pucat menyebalkan yang memotong pembicaraanku dengan primadona.

“Ah, Marco, aku hanya mengobrol sebentar dengan Ok-.. dengan Alvin kok.” jawab primadona pada pacarnya yang norak tersebut.

Primadona berpacaran dengan orang norak ini sejak awal kelas X. Mereka langsung jadian saat baru saling mengenal. Entah apa yang ada di pikiran primadona waktu itu.

“Duh cinta, mending sekarang kamu temenin aku ke mall. Lapar nih. Langsung capcus yuk, sekalian mau liat diskon di salon,” ucap albino norak yang agak kemayu tersebut sambil menarik lengan putih primadona.

“Ahaha iya Marco. Aku temenin kok,” primadona berjalan sambil ditarik namun sempat menoleh kepadaku sambil menyemangatiku, “Semoga kamu berhasil ya Oka!”

Aku melempar senyum kepadanya sambil membayangkan tes seperti apa yang akan kulalui nanti.


***


Aula sekolah yang luasnya kurang lebih separuh lapangan sepakbola dengan langit-langit tinggi ini menjadi saksi bisu seremonial dimulainya tes masuk OSIS. Tidak sampai dua puluh murid yang menjadi peserta tes masuk ini.

Pak Fritz, kepala sekolah kami yang berbadan besar dan selalu memakai jas abu-abu ke manapun ia pergi bahkan ke kolam renang sekalipun, mengucapkan pidato pembukaan yang membosankan selama dua jam sebelum akhirnya menjelaskan mengenai tes yang akan dialui para calon anggota OSIS yang baru. Primadona beserta dua anggota OSIS yang lain dan Ibu Anisa berdiri di belakangnya.

“Tes yang akan kalian jalani terdiri dari tiga macam, yaitu tes fisik, kepandaian, dan mental,” Pak Fritz tiba-tiba mengangkat sebuah kepingan seperti medali dengan lambang OSIS.

“Kepada kalian yang berhasil melalui seluruh tes akan diberi kepercayaan untuk mengenakan medali OSIS ini. Medali ini berfungsi untuk memaksimalkan potensi tersembunyi dalam diri masing-masing, atau disebut indigo, termasuk mematerialisasi benda terkait dengan indigo tersebut,” jelas kepala sekolah berambut botak tersebut sambil menyuruh salah seorang anggota OSIS untuk maju.

Simon, anggota OSIS yang kurus ceking dan berkacamata tebal serta tidak pernah terlihat tersenyum apalagi tertawa, memeragakan dirinya mematerialisasi sebuah buku tebal.

“Psstt, Vin. Kalau gue, kira-kira apa ya yang bakal termaterialisasi? Moga-moga pedang perak besar, kan keren. Hehe,” bisik Vincent yang juga ikut tes masuk OSIS karena iseng.

Meneketehe? Buat elo yang mesum sih kayanya DVD porno atau artis bokep yang bakal termaterialisasi,” jawabku cepat sambil membayangkan Lycan berbikini seksi mengalihkan perhatian Lycan-Lycan cowo saat mereka diserang para anggota OSIS.

Tidak lama kemudian, tes pertama dimulai. Frans, anggota OSIS yang berbadan gemuk dan muka penuh jerawat, memegang sebuah alat berbentuk detektor logam.

“Tes pertama adalah tes mental. Saya akan mengetes kalian dengan menggunakan alat baru yang disebut Lycan Detector ini untuk mengukur resistensi terhadap virus Lycanolog. Silakan berbaris satu demi satu,” jelas Frans sambil menyiapkan detektor tersebut.

Satu per satu murid mulai diperiksa dengan detektor tersebut, namun entah mengapa wajah Frans tampak kebingungan setiap selesai memeriksa murid.

“Ada yang aneh Frans?” tanya Vincent yang menjadi ‘pasien’ berikutnya sebelum giliranku diperiksa ‘dokter’ Frans.

Frans menjawab sambil menghidupkan detektor tersebut ke arah Vincent, “Err, dari tadi hasil pembacaan detektor ini...”

Dari tiga... Menjadi... Dua...


ZLEEBBB!!

“AGGHHHH!!!” teriak Frans tiba-tiba saat perutnya ditusuk oleh Vincent yang berubah menjadi Lycan dengan sangat mendadak.

“Fransss!!” Simon dan primadona yang sibuk dengan persiapan tes berikutnya belum sempat bertindak apa-apa saat rekan mereka diserang oleh Lcyan Vincent tersebut. Dalam sekejap, lebih dari setengah murid peserta tes OSIS berubah menjadi Lycan dan membantai murid-murid lainnya.

Frans ditusuk berkali-kali oleh beberapa Lycan sehingga menyerupai sate manusia. Sepertinya tidak mungkin nyawanya dapat tertolong. Primadona dan Simon bergerak cepat untuk meredakan serangan para siswa yang telah menjadi Lycan tersebut. Aku dan beberapa murid yang selamat berlari ke pojok aula untuk berlindung bersama Ibu Anisa dan Pak Fritz, karena jalan menuju pintu keluar aula terhalangi oleh pertempuran OSIS dengan Lycan.

Primadona mengeluarkan berbagai jurus tangan kosong untuk menaklukkan para Lycan, sedangkan Simon menggunakan bukunya untuk memunculkan efek semburan es dan petir. Ia mirip sekali dengan para penyihir dalam game-game petualangan.

“Kenapa para murid peserta tes bisa tertular virus Lycanolog tiba-tiba begini!?” teriak primadona sambil menghantam kepala seekor Lycan.

“Tenang Diana, sebaiknya mereka dibereskan dulu baru kita investigasi-..”

“Bagaimana aku bisa tenang Simon!? Frans terbunuh dengan tiba-tiba seperti ini! Kita kehilangan lagi seorang anggota OSIS!”

“Aku tau Diana! Tapi prioritas kita saat ini adalah menjamin keselamatan kepala sekolah dan mereka yang sedang berlindung di sana-.. AWASSS!!!”


Dari dua... Menjadi... Satu... 


“KYAAA!!!”

Sebuah semburan api besar tiba-tiba menyerang ke arah primadona, namun Simon melompat mendorongnya sehingga separuh tubuh bagian bawahnya terbakar. Sumber api tersebut adalah seekor Lycan yang berdiri di sampingku. Ya, Ibu Anisa telah tertular virus Lycanolog dan bergerak cepat menyerang OSIS.

Lycan Ibu Anisa menyerang Simon yang lumpuh tak berdaya, namun primadona yang baru diselamatkan Simon dengan sigap menghalangi serangannya. Aku masih terdiam di tempat.

“Kenapa Ibu juga bisa tertular virus Lycanolog!? Kenapaaa!?” teriak primadona dengan histeris yang kini harus menghadapi Lycan Ibu Anisa beserta beberapa Lycan lain mantan siswa peserta tes.

Dengan tubuh yang terbakar separuh, Simon berusaha membantu primadona dengan memunculkan efek petir yang berhasil membunuh para Lycan siswa. Lycan Ibu Anisa bergerak sangat lincah sehingga sulit diserang Simon, namun primadona yang memiliki indigo kecepatan dan kekuatan alami dapat seimbang dengannya.

Di tengah pertarungan sengit tersebut, mendadak Lycan Ibu Anisa menyemburkan api kepada Simon yang tak berdaya.

“Ugh, Ibu, kenapa harus dirimu!?” jerit primadona yang setengah menangis dan langsung berdiri di tengah jalur antara semburan api dan Simon dengan maksud melindunginya.

“AWASS!!” aku berlari kencang menuju primadona untuk berdiri di depannya dan...

“!?”

Api yang disemburkan oleh Lycan Ibu Anisa tiba-tiba berbelok ke arah lain. Seperti yang sudah kuduga, indigo unik yang kumiliki dapat membuat diriku tidak diincar Lycan maupun dikenai serangannya.

Lycan Ibu Anisa yang hendak menyerang kembali tiba-tiba tertahan karena ia terbungkus semacam barrier transparan berbentuk bola ungu yang mengitarinya. Ternyata Simon dapat berteleportasi ke belakangnya dengan memunculkan barrier tersebut menggunakan kekuatannya.

“Simon!? Apa yang kau lakukan?” teriak primadona.

“Sudah saatnya kita mengakhiri ini semua. Aku akan menahan Lycan ini untuk berhenti bergerak. Cepat materialisasi senjata indigo milikmu untuk menyerang barrier ini sehingga ia akan tewas bersamaan dengan hancurnya barrier.”

“Tapi.. Kalau begitu KAU juga akan mati Simon!? Aku TIDAK mau lagi melihat anggota OSIS yang gugur! Aku-..”

“AKU TAHU Diana! Tapi kita tidak punya pilihan lain. Bagaimana kalau Lycan Ibu Anisa menyebarkan virus Lycanolog dan mengubah murid dan guru lain menjadi Lycan?”

“Tapi-..”

“Lakukanlah, Usa!” aku memotong pembicaraan mereka, “Simon tampaknya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Sebaiknya kau cepat mengakhiri ini semua.”

Primadona tampak bingung.

“Tugas OSIS wajib dijalankan meskipun mengorbankan diri sendiri ataupun sesama anggota OSIS. Lakukanlah, Diana.” bujuk Simon. Ia tampak hampir pingsan.

“... Baiklah. Sebagai ketua OSIS, aku harus mengutamakan keselamatan penghuni sekolah... Terima kasih, Simon, Oka,” primadona mengatubkan kedua tangannya sambil tersenyum simpul dengan wajah sedih, “... dan Ibu Anisa, penasihat kami.”

Primadona mematerialisasi sebuah benda berbentuk pedang besar. Pedang tersebut memancarkan sinar yang terang benderang sehingga mataku hampir tidak bisa melihat.

“... Aku tidak suka mematerialisasi indigo milikku karena kekuatannya yang terlalu besar, tapi tidak ada pilihan lainnya,” ucap primadona sambil mengayunkan pedang besar tersebut ke arah barrier berisi Lycan Ibu Anisa dan Simon.

Begitu pedang besar primadona menyentuh barrier tersebut, hal terakhir yang kulihat adalah senyuman Simon.


***


Hujan kembali turun dengan deras, seolah-olah langit ikut bersedih atas gugurnya seluruh pengurus OSIS selain primadona.

Primadona tampak termenung sendirian di lorong sekolah. Ia berdiri sambil bersandar di dekat jendela memandangi aula yang rusak parah. Aku berjalan menghampirinya pelan untuk menghiburnya.

“Usa...” panggilku dengan pelan, takut mengagetkannya.

Primadona menggelengkan kepalanya ke arahku. Tatapan matanya tampak kosong. Wajahnya yang tegas dan selalu bersemangat berganti dengan kesuraman dan dipenuhi keputusasaan yang dalam.

“A... Aku...,” suaranya terdengar lirih dibarengi dengan isakan kecil, ”Seluruh anggotaku tewas, bahkan aku mengorbankan rekanku sendiri. Aku orang gagal... Aku-...”

Suara primadona terhenti begitu keningnya kuusap-usap dengan pelan seperti waktu kami masih kecil dulu. Butir-butir air matanya mengalir semakin banyak, layaknya sungai yang kembali mengalir setelah arusnya tertahan batu besar.

“Yang lalu biarlah berlalu. Teruslah berjuang untuk rekan-rekan pengurus OSIS yang telah gugur demi mereka,” ucapku dengan tenang.

“Dan jangan lupa juga, pacarmu si albino itu pasti bakal sedih banget kalau melihat cewenya bermuka suram melebihi hantu bermuka pucat kaya gini. Pasti dia lagi kebingungan gara-gara nyari-nyari kamu buat diajak nemenin menicure pedicure.”

“Eh!? Siapa yang mukanya pucat kaya hantu?” balas primadona dengan muka cemberut sambil menghardik tanganku yang sedang mengusap keningnya.

“Hehe, yah coba aja kamu cari kaca. Muka kamu yang biasanya cantik jadi kelihatan jelek kaya nenek-nenek tau.”

“Huh! Biarin ah,” gerutu primadona sambil mulai berjalan menjauh dariku, ”Oh ya, kapan-kapan kita makan bareng lagi yuk di warung nasi Bik Sumi dekat rumahku. Udah lama juga kan kita ga bareng ke sana?”

“Sippp!” ucapku sambil mengacungkan jempol ke arahnya

Primadona tersenyum dengan lembut ke arahku. Mukanya sudah tidak sepucat tadi lagi.

Honeyyy!! Kamu ngapain sayang?” teriak cowo albino yang sangat kuketahui dengan jelas. Ia berdiri di ujung lorong seperti bencong di pinggir jalan.

“Oke, tunggu sebentar ya Marco!” balas primadona pada si albino.

“Umm.. makasih ya Oka. Jangan lupa janji kita tadi.”

Primadona berjalan pelan ke arah si albino setelah berterimakasih padaku sesaat. Meskipun masih dalam keadaan bersedih, ia tetap memperlihatkan cara berjalan yang anggun seperti biasanya. Sungguh primadona yang sangat sempurna.


Dari Satu... Yang Terakhir... 


Sayang sekali pria yang dipilihnya untuk menjadi seorang pacar sangat tidak sesuai dengan kepribadian primadona yang anggun dan menawan. Marco si albino sangat tidak pantas untuk disandingkan dengan primadona.

“Honey, kamu tidak apa-apa kan? Dari tadi aku cari-cari kamu lho dan—KYAAA!!”

“Belakangmu!! Awas Marcooo!!”


Ia pintar... Ia juga kuat... dan anggun... 


Seharusnya sejak awal ia tidak menjadi pacar primadona. Apa bagusnya seorang pria berkulit putih pucat dengan gaya norak bagi seorang primadona yang sempurna?

Honeyyy!! Kakiku berdarah banyak!! Cakarnya yang tajam sudah-- KYAA!!”

Lycan brengsekkk!! Menjauh dari Marcooo!!”


Ya... Ia seorang Primadona sejati... 


Seharusnya si albino disiksa lebih kejam oleh Lycan besar berjas abu-abu tersebut. Seharusnya ia dimutilasi kecil-kecil seperti Elisa, dibakar dengan api membara seperti Simon, lalu ditusuk-tusuk seperti Frans. Meskipun primadona menyelamatkannya, percuma saja karena si albino sudah kehilangan kaki kanan dan lengan kirinya. Primadona sudah bukan milik si albino lagi.

“Ugh... Honey... Tolong... Aku... Tol...”

“Tidakkk!! Bertahanlah!! Marcooo!!!”


Ia menjadi milikku... 


Ya, sebab ia menjadi milikku, Alvin sang Okami.


--- oOo ---



Apa sebenarnya Ōkami itu?

Bagaimana caranya virus Lycanolog dapat menulari manusia?

Jawabannya mungkin dapat ditemukan pada bagian kedua dari OKAMI SAGA, yaitu OMEN.

Only at The World of Alexander Blue

7 komentar:

  1. *Pertamax*

    Cerpen pertama yang gw rilis di Blog.

    Dibandingkan dengan versi yang dipost di Fanfest 2012, versi ini ga ada typo spasi dan beberapa kalimat yang seharusnya di-align center sudah tertata dengan benar :D

    Semoga menikmati ceritanya ya all. Thx.

    BalasHapus
  2. congrats for the blog, blue..

    very nice and attractive blog.
    ditunggu lanjutannya dari cerita okami ya..

    cheers..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip kerakal,

      Tunggu yah bagian kedua dari Okami Saga-nya. Masih digodok dulu di dapur fantasi. Haha

      Hapus
  3. Ceritanya bener-bener nggak terduga! /huhu Tadinya wa kira bakal slice of lice plus action gitu, ga tahunya bisa jadi Tragedy gituuu. Kirain Alvin tetap waras, kok tahu2 malah jadi lycan /huhu Nge-twist banget bikin kageet /noooo

    Aye nggak begitu kaget dengan slice of lice yang ujung2nya jadi combat, soalnya kemarin2 juga ngebaca novel kayak gitu dari anak2 FFC XD

    Nice story Oreo >.< b pengen liat sekuelnya~ Aye ga nahan sama si Marco, wkwkwkwk bisa jadian sama si Primadona sekolah XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. @avamon : sip avamon. Wkwk. gw emang demen sama cerita yang awalnya slice of life terus berubah genre jadi action fantasy XD (makanya suka banget sama KHR pas awal2)

      Soal si marco bisa jadian itu, tadinya ada latar mereka jadian (tapi tetep absurd sih latarnya), cuman kepotong waktu mangkas-mangkas paragraf biar memenuhi kuota di lomba fantasy fiesta.

      Twist di akhir itu cuman satu dari sekian banyak twist lain di cerita besarnya. Nantikan yah sekuelnya.

      Btw, sepertinya cerita ini mau gw tambahin beberapa hal yang sempet kepangkas kemarin sebelum disuubmit ke lomba (seperti latar primadona jadian) meskipun bakal ngelebihin kuota 3000 kata lomba, secara ini kan di blog sendiri. Nanti gw post baru lagi aja. Wkwk.

      Eniwei makasih komennya ;)

      Hapus
  4. wih keren :D
    tinggal tunggu yg omen neh

    BalasHapus
    Balasan
    1. sippp.

      Semoga yang berikutnya juga memuaskan ya XD

      Hapus