Selasa, 01 Januari 2013

Kotak Musik Noel

KOTAK MUSIK NOEL


Silver bells… Silver bells… 

It's Christmas time in the city…
 
Alunan lagu Natal klasik Silver Bell terdengar nyaring dari dalam rumah Mrs. Johnson. Ketiga orang anaknya yang telah beranjak remaja sedang berlatih untuk paduan suara acara Natal di gereja. Langit di luar begitu cerah setelah hujan salju semalam membuat halaman rumah mereka tertimbun tumpukan salju tebal.


Ring a ling… Hear them sing…
Soon it will be Christmas day…

“Oh dear, istirahatlah sejenak sebelum kamu lanjut membersihkan tumpukan salju,” ajak Mrs. Johnson saat melihat ‘pembersih tumpukan salju di halaman depan rumahnya’ mengusap dahi karena berkeringat.
“Gak apa-apa kok Ma’am. Ini udah nanggung, bentar lagi juga beres,” jawab Andrew, sang ‘pembersih tumpukan salju’.
Mrs. Johnson tampak diam sejenak memperhatikan remaja berusia sebelas tahun tersebut. Dengan hanya mengenakan kaos pendek, jaket putih tipis dan topi bulu imitasi, Andrew Wattson membersihkan halaman rumahnya sejak dua jam yang lalu sendirian saja.
“Baiklah dear. Kalau begitu, setelah selesai langsung masuk saja ke dalam rumah untuk menerima upahmu hari ini,” angguk Mrs. Johnson sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Oh, dan jangan langsung pulang. Suamiku pulang cepat dari kerjanya hari ini dan dia membawa banyak kue coklat, parsel Natal dari kantornya. Kau harus membantu kami menghabiskan kue-kue tersebut,” tawar Mrs. Johnson sambil tersenyum hangat.
“Umm, baiklah, jika gak merepotkan. Makasih Ma’am. Anda sudah baik sekali ke aku yang cuman pembersih tumpukan salju di halaman rumah anda.”
“Sama-sama dear. Kita sesama manusia saling membutuhkan, jadi bukanlah hal yang aneh kalau kita saling menolong, bukan?” ucap Mrs. Johnson sambil berjalan pelan kembali memasuki rumahnya.
Andrew yang mendengar hal tersebut hanya tersenyum sambil kembali mengayunkan sekopnya untuk membersihkan tumpukan salju di dekat pintu rumah Mrs. Johson.

***

“Sembilan dolar… Sembilan dolar lima puluh sen…,” gumam Andrew sambil menghitung seluruh uang recehnya, “Sepuluh dolar! Whooo akhirnya kekumpul juga!”
Andrew berteriak kegirangan sambil berlari ke arah toko mainan antik yang terletak di ujung Ginger Street. Ia sudah menabung selama sebulan lebih demi membeli hadiah Natal untuk adik perempuannya yang berusia sembilan tahun. Natal kali ini merupakan Natal pertama yang akan mereka rayakan tanpa kehadiran kedua orangtua mereka.
Saat ini, Andrew dan adiknya tinggal bertiga bersama dengan bibinya yang sakit-sakitan karena papa dan mama mereka telah meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Keadaan ekonomi bibinya sangat terbatas, dan sebagian besar uangnya habis untuk biaya berobat jalan berbagai macam penyakitnya. Andrew terpaksa tidak masuk sekolah lagi dan memutuskan untuk melakukan pekerjaan apapun demi mencari makan dan menghidupi mereka bertiga.

 
“Selamat siang Mr. Rob,” sapa Andrew kepada penjaga toko mainan tersebut segera setelah ia masuk ke dalam toko. “Saya datang membawa sepuluh dolar. Kotak musik tersebut masih ada kan?”
“Hohoho! Tentu saja nak. Aku sudah berjanji padamu untuk tidak menjual kepada siapapun Kotak Musik Noel tersebut jika kau berhasil membawa sepuluh dolar pada hari ini, dua minggu sebelum hari Natal tiba,” ucap sang penjaga toko yang perawakannya sepintas mirip dengan Santa Claus tersebut. Gemuk, berbadan besar, berjenggot putih tebal, dan senang tertawa ‘hohoho’. Perbedaannya adalah Santa menggunakan pakaian serba merah, sedangkan ia lebih suka menggunakan jaket tebal berwarna biru muda.
Mr. Rob bergerak perlahan mengambil sebuah kotak musik dari salah satu lemari display mainan antiknya. Kini, Kotak Musik Noel tersebut akan berpindah tangan menjadi mlik Andrew.
“Boleh saya coba untuk mendengarnya dulu, Mr. Rob?”
“Hohoho! Tentu saja nak,” balas Mr Rob spontan sambil langsung membuka kotak musik tersebut.
Tidak sampai dua detik, lagu instrumental The First Noel mulai dimainkan dengan begitu merdu oleh kotak musik tersebut. Menurut cerita Mr. Rob, kotak musik tersebut dibuat oleh seorang pemain piano bernama Noel puluhan tahun yang lalu. Noel berarti Natal, dan Noel sangat menyukai lagu Natal klasik tersebut sampai ia sangat berniat membuat kotak musik sendiri yang dapat memainkan lagu tersebut dengan versinya sendiri.
“Indah sekali. Pantesan adikku ngebet pengen kotak musik ini sejak dulu,” celetuk Andrew sambil menikmati alunan musik tersebut.
“Hohoho! Dan adikmu adalah orang yang sangat beruntung karena mendapatkan kotak musik tersebut sebagai kado Natal dari kakaknya. Harga mainan ini sebenarnya sangat mahal, tapi kau sudah kuberikan diskon khusus,” ujar Mr. Rob sambil menutup kotak musik tersebut dan memberikannya kepada Andrew. “Merry Christmas, Andrew. Semoga Tuhan memberkatimu dan keluargamu selalu.”
Merry Christmas juga, Mr. Rob. Senang berjumpa denganmu.”
Andrew mengucapkan terima kasih kembali kepada Mr. Rob sambil berjalan ke arah pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti ketika seorang wanita muda berambut pirang membuka pintu masuk dengan tergopoh-gopoh dan langsung berlari ke arah Mr. Rob.
“Kotak… Kotak musik… Hah…,” ucap si wanita muda tersebut dengan nafas yang tidak beraturan. Tampaknya ia berlari cukup jauh untuk cepat-cepat tiba ke tempat ini.
“Tenang sebentar, Mrs. Jane,” kata Mr. Rob sambil menuangkan air putih ke gelas kosong yang ia taruh di dekat mejanya. Mr. Rob selalu menyediakan beberapa gelas kosong dan teko berisi air putih karena ia gemar mengobrol lama dengan para pengunjungnya yang tergolong sedikit jumlahnya.
“Terima kasih, Mr. Rob,” ucap Mrs. Jane sambil meminum air tersebut beberapa teguk. Nafasnya sudah mulai teratur kembali. “Saya sudah membawa seratus dolar untuk membeli kotak musik tersebut. Hari ini hari yang dijanjikan bukan?”
“Hohoho! Mrs. Jane, hari yang kita janjikan adalah besok, bukan hari ini,” jawab Mr. Rob sambil mengisi satu gelas lagi dengan air putih untuk ia minum sendiri, “Dan bukankah saya sudah bilang untuk menunggu di rumah agar saya sendiri yang menghubungi anda? Sayang sekali, tapi ada pengunjung saya yang telah membeli Kotak Musik Noel tersebut lebih dulu.”
Raut muka Mrs. Jane mendadak pucat.
“Astaga! Bagaimana ini!?” Mrs. Jane setengah berteriak, “Saya benar-benar lupa kalau saya baru bisa membeli kotak musik tersebut apabila anak yang kau bicarakan itu gagal memenuhi kesepakatan yang kau buat dengannya…. Saya benar-benar pelupa…”
Andrew yang tadinya akan pergi keluar mendadak merasa tidak enak meninggalkan wanita muda tersebut. Ia memandang Kotak Musik Noel sejenak, kemudian berjalan pelan menghampiri wanita tersebut.
“Permisi,” sapaan Andrew sempat mengagetkan Mrs. Jane yang kini menangis kecil, “Kalau boleh tau, kenapa anda tampak begitu menginginkan kotak musik tersebut, Ma’am?”
“Ah, tidak… Tidak apa-apa. Saya hanya penggemar benda antik saja,” jawab wanita tersebut dengan spontan sambil menyeka air matanya. Sepertinya wanita tersebut tidak ingin menceritakan alasan yang sebenarnya pada Andrew.
“Hohoho! Karena alunan lagu yang sangat indah, seperti alunan dari kotak musik tersebut, berpotensi menyembuhkan penyakit putra satu-satunya yang masih kecil.”
Mrs. Jane tampak terkesiap saat mendengar Mr. Rob mengatakan hal tersebut. Andrew hanya memasang muka terkejut sekaligus bingung.
“Dia anak yang membeli Kotak Musik Noel tersebut, Mrs. Jane. Dia berhak tahu hal yang sesungguhnya,” ucap Mr. Rob sambil minum dari gelasnya.
“Kenapa alunan musik dapat menyembuhkan penyakit anak anda, mam?” tanya Andrew dengan penasaran.
Mrs. Jane menenangkan diri sejenak sebelum mulai berbicara.
“Ah… Baiklah kalau begitu…,” ucap Mrs Jane sambil minum kembali sebentar, “Dokter di dekat daerah tempat tinggal saya yang mengatakan hal tersebut. Penampilannya yang berantakan memang membuatnya sulit dipercaya, tapi saya sudah mencoba berkonsultasi pada banyak dokter di kota ini dan hasilnya mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya diderita oleh putra saya dan bagaimana menyembuhkannya. Ia masih terbaring koma hingga sekarang. Saya tidak punya pilihan lain selain mempercayai dokter tersebut…”
Andrew tampak kebingungan mendengar hal tersebut. Mungkin terdengar aneh baginya karena penyakit dapat sembuh hanya dengan mendengarkan alunan musik yang indah.
“Saya sudah mencoba untuk mengunjungi beberapa konser musik terkenal ataupun meminta teman-teman saya yang suaranya bagus untuk bernyanyi, namun hasilnya nihil. Hampir semua uang saya telah habis hanya oleh mencari jalan untuk menyembuhkan putra saya, sampai akhirnya saya mendengar ada kotak musik yang memiliki alunan lagu yang sangat indah…”
“… Dan kotak musik itu kini menjadi milik anda, Ma’am,” ucap Andrew memotong penjelasan Mrs. Jane sambil menyodorkan Kotak Musik Noel padanya. Baik Mrs. Jane maupun Mr. Rob terkejut mendengar hal tersebut.
“Kenapa…?”
“Ya, Ma’am. Aku percaya kok, kalau anda gak ngarang cerita aneh cuman untuk mendapatkan kotak musik ini. Sesuatu dalam diri aku bilang kalau anda lebih berhak memiliki benda ini daripada aku sendiri,” jelas Andrew.
Mrs. Jane menunduk sambil menerima Kotak Musik Noel tersebut dengan ragu-ragu.
“Ta… Tapi… bukankah kotak musik ini memiliki arti yang juga penting bagimu?” tanya Mrs. Jane spontan sebelum menerima benda tersebut sepenuhnya dari Andrew. Ia sebenarnya sudah mengetahui alasan Andrew menginginkan kotak musik tersebut dari Mr. Rob saat dulu membuat kesepakatan pembelian dengannya.
Andrew terdiam sejenak, kemudian melepaskan kotak musik tersebut tanpa ragu-ragu di atas kedua telapak tangan Mrs. Jane.
“Aku cuman penggemar benda antik aja kok, Ma’am,” ucap Andrew sambil tersenyum.
Mendengar hal tersebut, Mrs. Jane diam sejenak dan kemudian ikut tersenyum. Ia kemudian membayar Andrew seratus dolar, namun hanya sepuluh dolar saja yang bersedia diterima olehnya. Mrs. Jane kemudian berterima kasih kembali kepada Andrew dan Mr. Rob sebelum bergegas pergi dari toko untuk pulang ke rumahnya.
“Hohoho! Apa kau yakin akan merelakan kepergian kado Natal untuk adikmu tersebut, Andrew Wattson?” tanya Mr. Rob sebelum Andrew beranjak pergi juga.
“Kita sesama manusia saling membutuhkan, jadi bukanlah hal yang aneh kalau kita saling menolong, bukan?” jawab Andrew dengan spontan sambil tersenyum singkat pada Mr. Rob dan langsung pergi keluar melewati pintu toko.
Mr. Rob hanya tersenyum sambil kembali minum dari gelasnya karena mendengar ucapan tersebut dilontarkan oleh seorang bocah berusia sebelas tahun. Sementara itu, Andrew mencoba memikirkan benda lain yang dapat menjadi kado Natal alternatif untuk adiknya sambil berjalan pelan menyisir Ginger Street yang mulai tertimbun salju tebal.
Hujan salju telah kembali turun.

***

Honey, dari mana saja kamu pergi?”
Seorang pria muda yang perutnya sedikit buncit dan berambut nyaris botak sedang menunggu dengan cemas di rumahnya yang sederhana ketika istrinya mendadak muncul dari pintu masuk dengan nafas terengah-engah.
 Hubby, maaf tadi aku lupa memberitahumu sebelum pergi... Hah…”
“Baiklah Jane, tunggu sebentar. Sekarang kamu masuk dulu dan minum sejenak sebelum mulai bercerita,” ajak sang pria pada istrinya tersebut sambil membawanya ke ruang makan dan menuangkan teh hangat.
Jane kemudian menceritakan pengalamannya di toko mainan antik Mr. Rob. Tentang bagaiamana ia gagal mendapatkan Kotak Musik Noel karena telah dibeli oleh orang lain, namun pembeli tersebut memutuskan untuk menjualnya kembali kepada Jane.
“Dan anak tersebut hanya mau meneima sepuluh dolar saja. Oh Hubby, syukurlah masih ada orang baik di dunia ini.”
Honey, kamu berbicara seolah-olah tidak ada lagi orang baik di sekitarmu,” ucap suami Jane dengan sedikit ketus. Jane tertawa kecil melihat pipi suaminya yang menggembung seperti balon.
“Tidak, sayangku Bernard. Itu hanya ungkapan saja. Sekarang bagaimana kalau kita coba perdengarkan alunan suara dari kotak musik ini pada putra kita?” tanya Jane sambil mengeluarkan Kotak Musik Noel dari dalam tas kulitnya. “Oh, dan panggil juga Dokter Ed. Dia harus ikut menjadi saksi pulihnya Danny.”
“Tentu, dan kita akan menjadi saksi ketidakbecusannya sebagai dokter apabila ini masih gagal membangunkan putra kita dari koma,” ucap Bernard sambil mulai beranjak untuk menelepon Dokter Ed.
Jane hanya tersenyum kecil mendengarkan suaminya menelepon Dokter Ed sambil sedikit beteriak. Ia sangat mengerti sekali kepribadian suaminya yang keras. Bernard bahkan menolak rawat inap untuk anaknya yang koma di rumah sakit karena selain biayanya yang sangat mahal, tidak ada satu dokterpun yang dapat menunjukkan kemungkinan putranya akan sembuh. Pertemuannya dengan Dokter Ed - yang tampak tidak bisa mengurusi dirinya sendiri karena penampilannya sering terlihat berantakan - sedikit membangkitkan harapannya untuk berhasil membangunkan Danny dari koma misteriusnya.
“Ia akan tiba dalam waktu sekitar satu jam,” ucap Bernard sambil menutup gagang telepon dengan sedikit keras. “Sebaiknya kita mulai berdoa agar semua berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, Honey.”
Jane mengangguk pelan dan mulai bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Dokter Ed, sekaligus memanjatkan doa pengharapan keajaiban Natal untuk kesembuhan putranya.

***

Di dalam ruangan yang dipenuhi boneka Teddy Bear dan mainan anak-anak, kedua orang tua Danny dan juga Dokter Ed berdiri di samping tempat tidur di mana Danny telah terbaring koma selama hampir satu bulan dengan selang infus.
“Ah, Mrs. Jane. Mungkin kita bisa mulai sekarang, ritual penyembuhan Danny?” tanya Dokter Ed dengan suaranya yang sedikit cempreng. Penampillannya memang tidak menunjukkan profesinya sebagai seorang dokter. Berambut gondrong, kumis dan janggut yang tidak dicukur rapi, dan pakaian yang sedikit kumal. Sebagian orang yang tinggal di dekat rumahnya menjulukinya ‘dokter gadungan’ atau - julukan yang ekstrim - ‘dokter setan’.
“Ritual? Kau pikir ini semacam acara aliran sesat ya!?” sergah Bernard dengan nada yang meninggi karena merasa tersinggung. Dokter Ed hanya bergidik ngeri mendengar seruan Bernard.
Hubby, sudahlah. Kamu pasti bisa mengerti bukan kalau Dokter Ed memang kadang suka berbicara sedikit… tidak biasa,” ucap Jane sambil mulai membuka Kotak Musik Noel. “Namun, maksudnya selalu baik. Dan kuharap, maksud baiknya tersampaikan pada Danny.”
Tidak sampai dua detik, alunan lagu The First Noel mulai mengalir dengan lancar dari dalam kotak musik tersebut. Suaranya benar-benar terdengar sangat indah, hingga semua yang ada di dalam ruangan tersebut terpukau diam sambil mendengarkannya. Danny masih tampak tidak bergeming sedikitpun selama lagu tersebut mengalir.
Jane mulai cemas ketika sampai lagu tersebut mengalun selama empat menit, tidak ada reaksi apapun dari Danny. Begitupula dengan Bernard yang sepertinya malah tampak ingin memukul Dokter Ed karena usahanya selama ini seperti sia-sia. Dokter Ed tampak melamun sambil sesekali menyenandungkan lagu tersebut, mengikuti irama dari kotak musik.
Setelah mengalun selama lima menit, kotak musik tersebut berhenti ‘menyanyikan’ The First Noel karena ditutup oleh Bernard.
“Ini konyol. Sungguh amat konyol!” seru Bernard sambil menarik kerah baju Dokter Ed. “Sudah kuduga, mana mungkin hanya memperdengarkan suara musik saja bisa membangunkan putra kami dari koma!?”
Hubby, tenangkan dirimu,” ucap Jane sambil mencoba menenangkan suaminya yang mulai kalap.
“Seharusnya aku tidak pernah ketemu dokter gadungan seperti kau! Seharusnya aku tidak percaya kata-katamu yang menyesatkan! Seharusnya… Seharusnya…,” Bernard sudah hampir melayangkan tinjunya karena sudah nyaris gelap mata.
“… Lagunya dilanjutin lagi donk.”
“Ya harusnya lagunya dilanjutkan lagi-… Danny!!” teriak Bernard saat menyadari siapa yang barusan berbicara.
Jane menutup mulutnya dengan kedua tangannya seolah tak percaya ketika melihat Danny yang koma sebulan tiba-tiba bangun dengan segar seolah tidak terjadi apa-apa padanya.
Daddy, kok lagunya diberhentiin si? Danny kan suka banget lagunya,” ucap Danny sambil menggembungkan pipinya. Persis seperti ayahnya yang juga suka menggembungkan pipi ketika sedang ngambek.
Jane dan Bernard langsung serempak memeluk tubuh bocah berusia enam tahun tersebut dengan erat. Keduanya tampak menitikkan air mata bahagia.
“Terima kasih Tuhan. Keajaiban Natal sungguh terjadi,” bisik Jane dengan terisak kecil sambil terus memeluk Danny yang tampak kebingungan.
Dokter Ed yang melihat pemandangan tersebut hanya tersenyum sambil sesekali menyenandungkan lagu The First Noel. “Nah kan dibilangin juga apa,” gumamnya kecil sambil menggaruk singkat rambut gondrongnya.

***

Hanya dalam waktu beberapa hari, Danny sudah sangat sehat dan dapat bermain-main lempar bola salju dengan teman-teman yang mengunjunginya. Ia sendiri tidak merasa kalau pernah sakit sebelumnya. Hanya saja, ia mengaku seperti tidur panjang dan bermimpi cukup lama berpetualang di dunia yang semua penduduknya adalah boneka Teddy Bear. Setelah lama berkeliling di dunia tersebut, seekor beruang Teddy Bear dengan pakaian santa menjemput Danny dan membawanya melewati sebuah ‘lubang’ di langit, diiringi lagu The First Noel.
“Dok, sepertinya saya harus minta maaf karena tempo hari sempat meragukan kemampuan anda,” ucap Bernard saat Dokter Ed datang untuk melakukan pengecekan rutin atas kondisi kesehatan Danny.
“Ah santai aja, Nard. Sudah biasa kok,” jawab Dokter Ed dengan sok akrab sambil mencicip cemilan yang ditaruh di meja ruang tamu tanpa dipersilakan. “Ada banyak penyakit yang masih belum dapat dijelaskan secara medis, dan terkadang cara penyembuhannya juga di luar akal sehat. Seperti penyakit Danny.”
“Tidak apa-apa. Saya akan tetap meminta maaf dan,” ucap Bernard - tanpa memedulikan Dokter Ed yang langsung melahap beberapa keping kue bola coklat - sambil mengeluarkan uang beberapa puluh dolar, “Ini bayaran untukmu. Ijinkan kami membayar lebih sebagai tanda maaf saya untuk anda.”
Melihat dirinya disodorkan beberapa lembaran uang dolar, Dokter Ed hanya mengambil sedikit saja dengan sigap.
No no no. Saya tidak merasa ada masalah apa-apa kok sama anda. Justru saya ikut senang karena putra anda sudah sembuh. Saya hanya akan mengambil sesuai harga awal.
“Tapi dok, saya tidak enak. Tolong terima saja sisa uang ini,” mohon Bernard sambil menarik lengan Dokter Ed dan menaruh seluruh uang dolar tersebut di tangannya. Namun, Dokter Ed langsung menaruh kembali semua lembaran yang berlebih di atas meja.
“Sudah. Sudah. Tidak apa-apa kok,” ucap Dokter Ed sambil kembali melahap sekeping kue bola coklat.
“Tapi-…”
“Ah begini saja!” seru Dokter Ed sambil menjentikkan jarinya, memotong perkataan Bernard. “Bagaimana jika saya minta Kotak Musik Noel anda saja sebagai bayarannya?”
Bernard sedikit terkesiap mendengar hal tersebut, namun Jane mendadak muncul dari arah dapur dan menyambung pembicaraan sambil membawa beberapa snack coklat, “Hubby, kita berhutang budi pada Dokter Ed. Berikan saja kotak musik tersebut.”
 Bernard berpikir sejenak.
“Kurasa Danny sudah benar-benar sehat. Ia tidak tampak bergantung pada lagu The First Noel yang dialunkan kotak musik tersebut sehari-harinya kok. Mungkin saja Dokter Ed membutuhkannya untuk terapi suatu penyakit lain,” saran Jane pada Bernard.
“Baiklah. Masuk akal juga. Berikan kotak musik tersebut padanya, Honey,” pinta Bernard pada istrinya. “Sekali lagi, terima kasih banyak dok. Saya harap kotak musik tersebut dapat berguna bagi pasien lain yang mungkin sedang anda tangani.”
“Oh, tentu. Tentu. Pasti berguna kok untuk seorang pasien saya yang lain,” angguk Dokter Ed sambil menghabiskan kue bola coklat yang tinggal tersisa dua keping saja. Ia tampak tersenyum puas, sedangkan Jane tertawa kecil melihat kelakuan Dokter Ed.
“Kalau begitu tunggu sebentar ya dok. Saya lupa di mana kotak musik tersebut saya taruh,” ucap Jane sambil terburu-buru pergi ke kamar tidur. Bernard hanya menggeleng-geleng melihat penyakit lupa istrinya kambuh lagi.
“Untunglah dia tidak pernah lupa kalau saya adalah suaminya,” gumam Bernard.

***


Siulan lagu The First Noel terdengar terus menerus dari arah rumah sederhana Edward, atau lebih sering dipanggil Dokter Ed oleh beberapa orang pasiennya.
Dokter Ed tampak membaca-baca beberapa artikel kesehatan dan psikologi. Saat terlihat bosan, ia mengeluarkan Kotak Musik Noel dan membukanya sehingga alunan musik The First Noel akan memenuhi seisi ruangannya, bahkan sampai terdengar keluar rumah karena Dokter Ed sering membiarkan jendela ruangannya terbuka.
“Ah, minum jus jeruk hangat sambil makan kue bola coklat di hari bersalju memang sungguh nikmat,” gumam Dokter Ed sambil berjalan santai mengelilingi ruang kerja di rumahya. Banyak artikel dan buku-buku mengenai psikologi dan kesehatan manusia yang disusun rapih - berkebalikan dengan penampilannya sehari-hari - di dalam lemari-lemari besar.
Saat sedang mengamati pemandangan dari luar jendela, Dokter Ed mendapati empat orang anak kecil sedang berdiri diam di luar jendela rumahnya. Sepertinya mereka tertarik akan alunan lagu The First Noel dari kotak musik tersebut.
“AHHH! Dokter setan keluar!!” teriak seorang anak kecil laki-laki yang gendut begitu melihat Dokter Ed yang sedang memperhatikan dirinya dari jendela.
“Lariii!! Selamatkan dirimu sebelum ditangkap dan dijadikan santapan malam Natalnya!” teriak seorang anak perempuan lain sambil menarik lengan anak laki-laki yang lebih kecil di sampingnya.
“Tunggu!! Aku juga ta-... Aduh!!” seorang anak laki-laki lain yang tertinggal tersandung batu dan terjatuh sehingga terlambat berlari mengikuti ketiga temannnya.
“GHUAAA! Tertangkap kau!” seru Dokter Ed yang melompat dari jendela rumahnya - ruangan kerjanya terletak di lantai satu - ke dekat si anak laki-laki yang tertinggal tersebut.
“A… Ampun!! Jangan makan aku dok!!” teriak si anak sambil menangis kecil.
“GHUAAA! Jangan bergerak!” teriak Dokter Ed sambil langsung ‘menculik’ anak tersebut dan membawanya masuk ke dalam ruangan kerjanya. Si anak kecil hanya menutup mata sambil meronta minta dilepaskan dan menangis.
Di dalam ‘kediaman dokter setan’ tersebut, si anak kecil dilepaskan di salah satu sofa yang terletak di dekat meja kerja Dokter Ed. Anak kecil tersebut mencoba untuk berlari, namun ia langsung terjatuh karena kakinya terasa sakit. Lutut kanan kakinya ternyata terluka dan mengeluarkan darah cukup banyak.
“Kan udah dibilang, jangan bergerak. Kemarikan lututmu,” perintah Dokter Ed pada si anak kecil. Di tangannya terdapat botol kaca berisi cairan berwarna hitam dan segumpal kapas.
Si anak kecil yang ketakutan tersebut akhirnya pasrah dan membiarkan sang dokter mengoleskan lutut kanannya. Dokter Ed menggunakan gumpalan kapas untuk mengolesi luka si anak dengan cairan hitam di dalam botol kaca tersebut.
“Sakit gak?”
Si anak kecil menggelengkan kepalanya perlahan. Dokter Ed mengartikannya sebagai tidak, kemudian menyubit segumpal kapas kecil untuk menjadi penutup luka tersebut.
“Tunggu di sini selama kurang lebih satu jam sampai obat tersebut benar-benar kering, Setelah itu jangan ke mana-mana dan langsung pulang,” pinta Dokter Ed sambil menyimpan obat dan kapas yang dibawanya ke lemari kaca di dekat ruang kerjanya.
“Umm…”
“Napa, bocah?” tanya Dokter Ed sambil mengambil dua buah pulpen dan diangkatnya di pinggir kepalanya, sehingga terlihat seperti ‘tanduk setan’.
“Umm, dokter gak bakal jadiin aku santapan di malam Natal nanti?” tanya si anak kecil dengan muka polos. Dokter Ed tiba-tiba tertawa dengan keras mendengar pertanyaan tersebut.
“HAHAHA! Kalian anak-anak benar-benar percaya kalau diriku ini dokter setan ya? Ya entah siapa yang pertama menyebutku seperti itu, tapi aku masih normal dan tidak makan daging manusia ataupun bocah kecil sepertimu,” jelas Dokter Ed sambil mengambil toples berisi kue bola coklat. “Nih, makan biar gak bosen,” ucap Dokter Ed sambil memberikan sekeping kue bola coklat kepada anak kecil tersebut.
“Umm, abisnya temen-temen bilang dokter setan si, jadi aku percaya aja. Makasih ya dok,” ucap si anak kecil sambil mulai menyantap kue bola coklat tersebut. “Nyamm enak dok! Mau lagi donk dok.”
Dokter Ed hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya melihat bocah yang tadi ketakutan setengah mati melihatnya sekarang malah enak-enakan duduk di sofa sambil ikut memakan kue bola coklat miliknya. Saat sang dokter melihat keluar ke arah jendela, salju telah mulai turun dengan lebat.
“Bocah, berapa nomor telepon rumahmu? Nanti biar aku hubungi orangtuamu untuk menjemputmu saja. Di luar sudah mulai turun hujan salju,” kata Dokter Ed sambil bersiap-siap untuk menelopon. Anak kecil tersebut kemudian memberitahu nomor telepon rumahnya.
“Namaku Bryan, bukan bocah, dok. Oh ya dok. Tadi kayanya ada suara musik bagus banget. Itu dokter main musik apa?” tanya Bryan sambil mengunyah kue bola coklatnya.
“Oh itu. Bukan aku yang main, bocah. Tapi kotak musik ini,” jawab Dokter Ed sambil mengangkat Kotak Musik Noel yang terletak di mejanya. “Dan lagu yang dimainkannya adalah The First Noel, salah satu lagu Natal klasik. Mau dengar lagi?”
Bryan mengangguk dengan riang. Dokter Ed tersenyum sambil membuka kotak musik tersebut sehingga alunan lagu The First Noel kembali terdengar memenuhi seisi ruangan.

***

Semenjak kejadian tersebut diceritakan Bryan pada ketiga temannya, mereka mulai sering mengunjungi rumah Dokter Ed setiap hari. Awalnya, teman-teman Bryan masih belum percaya karena takut bahwa Dokter Ed akan tetap diam-diam menculik dan memakan mereka di malam Natal nanti.
Setelah Dokter Ed menunjukkan perilaku baiknya dengan mengajarkan ilmu medis sederhana dan bahkan menceritakan beberapa cerita menarik tentang Santa Claus - yang katanya benar-benar dialaminya - seperti ia pernah dibawa melihat-lihat rumah Santa di Kutub Utara ataupun Santa yang terjebak tak bisa keluar dari cerobong perapian rumahnya karena terlalu gendut, teman-teman Bryan akhirnya mulai betah juga untuk sering datang mengunjungi rumah Dokter Ed. Apalagi, mereka selalu disajikan kue bola coklat dan terkadang diperdengarkan alunan musik dari Kotak Musik Noel. Orang tua mereka juga terkadang ikut berkunjung untuk melihat keadaan anak-anaknya.
“… Dan setelah itu, Rudolph menjadi pemimpin para rusa penarik kereta Santa. Nah, sekarang, siapa yang mau belajar cara gampang menyembuhkan pilek biar hidungnya ga sampai jadi merah banget kayak Rudolph?”
Bryan dan ketiga temannya tampak antusias dengan ajaran Dokter Ed.
“Dok! Dok! Pengen denger lagi donk lagu The First Noel-nya!” pinta teman perempuan Bryan.
“Hahaha! Oke sebentar ya,” jawab Dokter Ed sambil segera membuka Kotak Musik Noel dan membiarkan lagu The First Noel mengalun. Semua yang ada di dalam ruangan kerja tampak terdiam menikmati musik tersebut, hingga tiba-tiba bel rumah Dokter Ed berbunyi. Dokter Ed kemudian meminta ijin kepada anak-anak untuk melihat siapa yang datang.
“Selamat siang, anda…,” sang tamu memperhatikan sepintas penampilan Dokter Ed yang berantakan serta rambut gondongnya, Dokter Edward?” tanya seorang pria gemuk berkumis putih lebat dan mengenakan pakaian formal rapih, seperti seorang bangsawan kaya.
“Iya benar. Dan anda?”
“Perkenalkan nama saya-…”
“Paman Gareth!!” teriak Bryan memotong salam perkenalan pria gemuk tersebut sambil berlari diikuti ketiga temannya.
“Aha Bryan! Rupanya kau sedang bermain di sini ya?” ucap Gareth sambil mengangkat tinggi-tinggi keponakannya dengan tertawa kecil.
“Oh ya. Nama saya Gareth, paman dari Bryan. Saya hanya kebetulan ingin berkunjung saat lewat tadi mendengar suara musik The First Noel. Bryan banyak bercerita tentang anda kepada saya”, ucap Gareth sambil sesekali memperhatikan rambut gondrong Dokter Ed.
“Ah sama-sama. Saya tidak berbuat apa-apa kok selain mengisi waktu bermain bersama dengan bocah-bocah ini. Haha,” jawab Dokter Ed sambil tersenyum. “Kalau begitu, mari masuk ke dalam untuk saya suguhkan teh.”
Gareth mengikuti Dokter Ed masuk dan ikut duduk bersama di ruangan kerja yang cukup luas tersebut. Sepertinya ia cukup terkejut karena kerapihan ruangan tersebut berbanding terbalik dengan penampilan Dokter Ed yang ugal-ugalan. Gareth kemudian ikut menyaksikan bagaimana Dokter Ed bercerita dan bermain bersama anak-anak, hingga mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Anda tidak mengantar Bryan pulang?” tanya Dokter Ed saat Bryan dan seluruh teman-temannya pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki. Rumah mereka memang tidak begitu jauh karena masih satu wilayah dengan rumah Dokter Ed.
“Oh tidak. Saya tidak tinggal bersama dengan Bryan dan kedua orangtuanya. Selain itu…,” ucapan Gareth terhenti sejenak. Ekspresi mukanya mendadak menjadi sedih.
“Selain itu?” tanya Dokter Ed sambil menyantap kue bola coklat.
“Selain itu, saya tidak memiliki hubungan darah dengan Bryan. Tepatnya, saya bukan paman dari Bryan karena saya bukanlah saudara dari ayah ataupun ibunya. Saya hanyalah bekas pembantu keluarganya saat Bryan masih bayi.”
Dokter Ed hanya mengangguk sambil minum jus jeruk hangatnya.
“Terus kenapa anda terlihat sedih? Apa anda dipecat karena ketahuan mencuri di rumahnya, atau mungkin anda gagal berperan sebagai Santa Claus di malam Natal saat memberikannya kado Natal?” tanya Dokter Ed sambil melihat dengan seksama tubuh Gareth yang gemuknya menyaingi Santa Claus.
“Hahaha, saya rasa alasan yang kedua cukup mendekati, namun terlalu panjang untuk saya ceritakan. Saya bersyukur Bryan masih mengingat saya saat kami tidak sengaja bertemu di taman kota beberapa waktu lalu. Kini, kami sering mengobrol nyaris setiap hari di taman kota karena sekolah sedang libur.”
“Hooo, jangan bilang anda datang karena mau protes Bryan jadi jarang ketemu anda sejak dia jadi sering main ke sini?” tanya Dokter Ed dengan nada santai. Gareth tertawa kembali karena Dokter Ed selalu menanggapinya dengan to-the-point.
“Hahaha! Sebenarnya tidak juga. Terus terang, saya memang kesepian sejak istri saya meninggal setahun yang lalu dan ia mewariskan harta dalam jumlah cukup besar hasil tabungannya selama ia bekerja. Sayang kami tidak memiliki keturunan,” jawab Gareth sambil menghela nafas.
Dokter Ed diam sejenak, kemudian mengambil sekeping kue bola coklat, memakannya, mengambil Kotak Musik Noel, dan membiarkan lagu The First Noel mengalun beberapa saat sebelum mulai berbicara.
“Bagaimana perasaan anda?” tanya Dokter Ed.
The First Noel… Saya memang senang dengan lagu Natal yang satu ini. Dan entah mengapa, saya merasa sangat tenang mendengarkan alunan lagu dari kotak muik ini,” jawab Gareth. Ekspresi sedihnya berganti menjadi ekspresi tenang.
“Bagus. Kalau begitu, ini buat anda,” ucap Dokter Ed sambil menutup Kotak Musik Noel dan menyodorkannya pada Gareth yang terkejut mendengar pernyataan tersebut.
“Terima kasih Dokter Edward, tapi saya tidak pernah punya maksud memiliki kotak musik tersebut dan lagipula,-…”
“Kotak musik ini awalnya juga bukan milik saya. Namun mengingat kotak musik tersebut telah ‘menyembuhkan’ setidaknya dua orang pasien, saya rasa tidak ada salahnya memberikan kotak musik ini dengan cuma-cuma.” Dokter Ed langsung memotong penjelasan  Gareth dan menaruh Kotak Musik Noel di tangan Gareth. “Jika anda merasa ada orang lain yang lebih membutuhkan kotak musik tersebut, jangan ragu untuk memberikannya, seperti yang barusan saya lakukan pada anda.”
Gareth yang masih tampak sedikit kebingungan akhirnya pasrah menerima kotak musik tersebut sambil tersenyum tipis.
“Tapi, apa yang akan anda katakan pada anak-anak kalau mereka menanyakan kotak musik ini?” tanya Gareth.
“Hmm… saya akan bilang bahwa Santa Claus sangat senang ketika saya memberikannya hadiah Natal,” jawab Dokter Ed dengan spontan.

***

Setelah berbincang-bincang dengan Dokter Ed, Gareth akhirnya memutuskan untuk pamit. Dokter Ed mengantarnya hingga keluar dari pintu depan rumahnya.

I'm dreaming… of a white Christmas…
With every Christmas card I write…

Lagu Natal White Christmas dinyanyikan oleh sekelompok remaja di depan toko yang terletak tidak jauh dari rumah Dokter Ed. Suara mereka begitu merdu dan nyaring, hingga terdengar sampai ke depan rumah Dokter Ed.
Merry Christmas, Dokter Edward. Senang berbicara dengan anda.”
Merry Christmas juga, pamannya Bryan,” balas Dokter Ed yang sepertinya lupa dengan nama Gareth.
“Ah ya, Dokter Edward. Tadi anda mengatakan bahwa kotak musik ini telah menyembuhkan setidaknya dua orang pasien. Boleh saya tahu siapa dan penyakit apa yang anda maksud?” tanya Gareth dengan penasaran.
“Hmm, yang pertama adalah penyakit koma misterius yang diderita oleh seorang anak kecil seumuran Bryan,” jawab Dokter Ed dengan enteng sambil melempar sekeping kue bola coklat ke mulutnya tanpa ragu.
“Dan yang kedua?” tanya Gareth dengan bingung.
“Yang kedua adalah penyakit ‘dokter setan’ yang diderita oleh orang yang baru saja memberikan kotak musik tersebut pada anda,” jawab Dokter Ed sambil memandangkan penglihatannya pada beberapa orang yang sedang berjalan ke arah dirinya dari kejauhan.
Bryan ternyata datang kembali sambil membawa mamanya dan temannya yang lain, Danny, sambil tersenyum senang.

May your days be merry and bright…
And may all your Christmases be white…

***

Gareth membuka Kotak Musik Noel dan membiarkan lagu The First Noel mengalun dengan indah di ruang tamu di rumah besarnya. Sudah dua hari sejak ia menerima kotak musik tersebut dari Dokter Ed, dan ia terus menerus mendengarkan alunan lagu yang dihasilkan dari kotak musik tersebut. Meskipun lagu tersebut sangat indah dan membuat dirinya tenang, rasanya cukup sepi juga karena di rumah besar tersebut hanya ada ia sendiri.
“Mungkin sebaiknya aku berjalan-jalan di luar. Sekarang sudah hampir malam dan besok adalah hari Natal. Di luar sepertinya jauh lebih ramai,” gumam Gareth pada dirinya sendiri. Ia segera mengenakan jaket tebal dan membawa kotak musik tersebut - dimasukkan ke dalam sebuah kotak kayu yang ukurannya lebih besar - sambil berjalan-jalan di luar.


Salju turun dengan tidak begitu lebat. Di malam Natal ini tampak banyak orang masih berlalu-lalang dan sibuk membawa banyak kado atau berbelanja makanan bersama dengan orang-orang terdekatnya. Di depan beberapa toko tampak beberapa orang mengenakan pakaian Santa Claus dan membagi-bagikan selebaran - mungkin berisi keterangan diskon Natal dan tahun baru di toko tersebut - meskipun ada juga yang memberikan coklat gratis kepada orang-orang yang lewat.
Gareth berjalan-jalan tanpa menggunakan mobilnya. Ia hanya berputar-putar di jalanan, sambil mengamati orang-orang yang tampak senang akan menyambut Natal dengan keluarga masing-masing.

The first Noel… The angel did say…
Was to certain poor shepards in fields as they lay…

Gareth mendengarkan lagu Natal The First Noel. Lagu tersebut dinyanyikan dengan sangat indah oleh seseorang.

In fields where they lay a keeping their sheep…
On a cold winter's night that was so deep…

Gareth mencoba untuk menemukan asal suara tersebut. Saat melihat ke sekelilingnya, ia melihat seorang anak perempuan kecil sedang berdiri menatap patung Bayi Yesus, Maria, dan Yusuf yang terletak di depan sebuah gereja. Tampaknya suara merdu tersebut berasal dari anak kecil tersebut, sehingga Gareth memutuskan untuk mendekatinya.

Noel Noel Noel Noel
Born is the King of Israel…

Anak perempuan tersebut masih terus bernyanyi dan baru berhenti saat ia menyadari bahwa Gareth sedang memperhatikannya dari dekat.
“Kamu siapa!?” teriak anak tersebut, namun ekspresinya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali pada Gareth.
“Oh maaf kalau saya mengagetkanmu, nak. Suaramu sangat bagus,” puji Gareth pada anak tersebut sambil memandang ke sekitar anak tersebut. “Kamu tidak bersama orang tuamu di dalam gereja?”
“Papa mama gak ada. Mereka sekarang lagi ngerayain Natal di Surga,” jawab si anak perempuan dengan polos. Gareth sedikit terkejut mendengar hal tersebut. Ia mendadak teringat dengan almarhum istrinya yang juga telah tiada setahun yang lalu.
“Saya turut berduka nak. Kamu hanya sendirian di sini?”
“Iya cuman sendiri. Habis aku lagi sebel sama kakakku yang ngasih aku kado Natal kaos kaki coklat Teddy Bear. Padahal aku gak mau itu,” jawab si anak perempuan dengan mimik muka yang sedih.
“Astaga, nak. Rumahmu di mana? Tidak baik berjalan-jalan sendirian saja saat sudah malam begini. Biar saya antar kamu pulang,” tawar Gareth padanya.
“Boleh. Tapi aku digendong di punggung ya, paman Santa,” jawab si anak perempuan sambil tersenyum sedikit. Gareth kembali terkejut karena dirinya disebut Santa - untuk kedua kalinya secara tidak langsung dalam minggu ini - meskipun perawakannya mirip dengan Santa Claus.
“Nak, kamu tidak takut? Saya kan tentunya orang asing bagimu.”
“Aku percaya kok, paman Santa bukan orang jahat,” jawab si anak perempuan sambil mendekati patung Bayi Yesus. “Lagian, tadi aku sempet berdoa juga kepada Yesus supaya Santa datang ngehibur aku sama kasih kado Natal yang aku pengen. Eh, gak taunya paman Santa udah ada di deketku tadi,” ucapnya sambil mengelus patung Bayi Yesus.
Gareth tersenyum mendengar perkataan dari anak kecil berhati polos tersebut.
“Oh ya, paman Santa mukanya kok keliatan kesepian?” tanya si anak perempuan dengan mendadak sambil berjalan mendekati Gareth. Matanya menatap lekat wajah Gareth.
“Hahaha, nak. Ya, paman Santa sedang kesepian karena semua orang merayakan Natal dengan keluarganya masing-masing,” jawab Gareth sambil berlutut agar dapat berbicara dengan lebih mudah dengan anak perempuan tersebut, “Namun sayang paman Santa tidak punya keluarga untuk merayakan Natal bersama, meskipun paman punya banyak uang dan kado Natal.”
“Wah paman Santa punya banyak kado?” tanya si anak dengan spontan.
“Hahaha betul nak,” ujar Gareth sambil mengeluarkan sebuah kotak kayu yang di dalamnya terdapat Kotak Musik Noel, “Ini untukmu saja, nak. Paman Santa sudah puas mendengarkan musik yang dihasilkan dari kotak musik di dalamnya.”
Mata si anak perempuan tampak berkaca-kaca menerima kotak tersebut.
“Dalemnya kotak musik? Ini beneran buat aku paman? Paman Santa emang tau ya kado apa yang lagi aku pengen. Hehe.”
Gareth tampak senang karena secara kebetulan sepertinya ia memberikan anak tersebut barang yang ia inginkan.
“Iya nak. Beberapa waktu yang lalu, seorang teman paman Santa yang punya toko mainan mengatakan bahwa kita sesama manusia saling membutuhkan, jadi bukanlah hal yang aneh kalau kita saling menolong. Apalagi sekarang malam Natal, dan paman Santa mau memastikan kalau semua anak sudah menerima hadiahnya,” jelas Gareth yang mulai berperilaku sebagai Santa Claus sungguhan.
“Kalau gitu, gantian aku yang ngasih kado buat paman Santa. Tadi paman Santa bilang kesepian kan?” tanya si anak perempuan dengan mata berkaca-kaca.
Gareth hanya mengangguk lemah sebagai jawaban ‘ya’ atas pertanyaan tersebut.
“Ya udah, paman Santa sini ikut aku sekalian anterin pulang ke rumah. Semua orang di rumah pasti seneng ngerayain Natal bareng sama Santa Claus beneran, soalnya aku cuman tinggal bertiga aja,” ujar si anak perempuan sambil meminta digendong di punggung Gareth.
“Terima kasih nak,” ucap Gareth sambil mengangkat si anak perempuan ke punggungnya yang besar.
“Paman Santa juga harus datang ya besoknya pas hari Natal. Kakak laki-laki sama bibiku yang lagi sakit pasti makin seneng,” ujar si anak perempuan sambil memegang erat kotak kayu berisi Kotak Musik Noel.
“Oh tentu saja kalau mereka mau. Oh ya, nak. Siapa namamu? Paman Santa belum tahu,” tanya Gareth sambil mulai berjalan dan menggendong erat anak tersebut.
Namaku Anna. Anna Wattson,” jawab anak perempuan tersebut sambil membuka kotak kayu tersebut untuk melihat isinya.

--- oOo ---

DISCLAIMER : All of the images serve as illustrative purpose only. They are NOT mine.

Personal Comment
Ini merupakan cerita Natal pertama yang gw buat, dan sekaligus salah satu cerpen terpanjang yang pernah gw buat (Jumlah kata dalam cerpen ini mencapai 5600 kata, sedangkan cerpen yang gw buat biasanya hanya berkisar antara 2000 - 3000 kata).
Sempat terpikir untuk memotong cerpen ini jadi 2 bagian, tapi kalau sampai dilaksanakan, mungkin makna cerita ini bakal jadi kurang terlihat. Bagi yang mungkin tidak sadar, ini alur perpindahan kepemilikan Kotak Musik Noel yang jadi inti ceritanya :

Mr Rob  -->  Andrew Wattson  -->   Mrs. Jane  -->  Dokter Ed  -->  Gareth  -->  Anna Wattson.

Notice something, right? Haha.
Oh ya, pada awalnya nama yang digunakan untuk Anna adalah Emma (Berarti lengkapnya Emma Wattson). Tapi, belakangan gw pikir kalau jadi dipakai nama itu, pembaca mungkin akan mengira kalau ini cerita nyata yang dialami oleh aktris Emma Watson (pemeran Hermione Granger dalam movie Harry Potter) dan malah membiaskan makna sebenarnnya dari cerita ini. Setelah dipertimbangkan, nama Anna akhirnya yang gw pakai sebagai nama dari adik Andrew.

Meskipun terlambat diposting karena beberapa hal (cerita ini sebenarnya sudah selesai ditulis tahun 2012 beberapa hari setelah Natal berlalu), gw mau mengucapkan :

Merry Christmas 2012
&
Happy New Year 2013

Semoga di tahun yang baru ini semakin banyak dapat rejeki dan lancar dalam melakukan kegiatan apapun ya. ^^ Happy holiday juga bagi yang berlibur.

Regards,
Alexander Blue

2 komentar:

  1. Nice story bro!
    Berkembang terus di jalur fantasy yaah :D
    I think that is the reason why you always have a place in blogging world.
    The bright future is in front of us :D !

    BalasHapus
  2. ^ Thx so much brow.

    You too will have a very bright future brow because of all your nice stories brow. ^^b

    BalasHapus