KOTAK MUSIK NOEL
“Silver bells… Silver bells…
It's Christmas time in the city…”
Alunan
lagu Natal klasik Silver Bell
terdengar nyaring dari dalam rumah Mrs. Johnson. Ketiga orang anaknya yang
telah beranjak remaja sedang berlatih untuk paduan suara acara Natal di gereja.
Langit di luar begitu cerah setelah hujan salju semalam membuat halaman rumah
mereka tertimbun tumpukan salju tebal.
“Ring
a ling… Hear them sing…
Soon
it will be Christmas day…”
“Oh dear, istirahatlah sejenak sebelum kamu lanjut membersihkan
tumpukan salju,” ajak Mrs. Johnson saat melihat ‘pembersih tumpukan salju di
halaman depan rumahnya’ mengusap dahi karena berkeringat.
“Gak apa-apa kok Ma’am. Ini udah nanggung, bentar lagi
juga beres,” jawab Andrew, sang ‘pembersih tumpukan salju’.
Mrs. Johnson tampak diam sejenak
memperhatikan remaja berusia sebelas tahun tersebut. Dengan hanya mengenakan kaos
pendek, jaket putih tipis dan topi bulu imitasi, Andrew Wattson membersihkan
halaman rumahnya sejak dua jam yang lalu sendirian saja.
“Baiklah dear. Kalau begitu, setelah selesai langsung masuk saja ke dalam
rumah untuk menerima upahmu hari ini,” angguk Mrs. Johnson sambil membetulkan
posisi kacamatanya. “Oh, dan jangan langsung pulang. Suamiku pulang cepat dari
kerjanya hari ini dan dia membawa banyak kue coklat, parsel Natal dari
kantornya. Kau harus membantu kami menghabiskan kue-kue tersebut,” tawar Mrs.
Johnson sambil tersenyum hangat.
“Umm, baiklah, jika gak merepotkan.
Makasih Ma’am. Anda sudah baik sekali
ke aku yang cuman pembersih tumpukan salju di halaman rumah anda.”
“Sama-sama dear. Kita sesama manusia saling membutuhkan, jadi bukanlah hal
yang aneh kalau kita saling menolong, bukan?” ucap Mrs. Johnson sambil berjalan
pelan kembali memasuki rumahnya.
Andrew yang mendengar hal tersebut
hanya tersenyum sambil kembali mengayunkan sekopnya untuk membersihkan tumpukan
salju di dekat pintu rumah Mrs. Johson.
***
“Sembilan
dolar… Sembilan dolar lima puluh sen…,” gumam Andrew sambil menghitung seluruh
uang recehnya, “Sepuluh dolar! Whooo akhirnya kekumpul juga!”
Andrew berteriak kegirangan sambil
berlari ke arah toko mainan antik yang terletak di ujung Ginger Street. Ia sudah menabung selama sebulan
lebih demi membeli hadiah Natal untuk adik perempuannya yang berusia sembilan tahun.
Natal kali ini merupakan Natal pertama yang akan mereka rayakan tanpa kehadiran
kedua orangtua mereka.
Saat ini, Andrew dan adiknya tinggal
bertiga bersama dengan bibinya yang sakit-sakitan karena papa dan mama mereka
telah meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Keadaan ekonomi bibinya
sangat terbatas, dan sebagian besar uangnya habis untuk biaya berobat jalan
berbagai macam penyakitnya. Andrew terpaksa tidak masuk sekolah lagi dan
memutuskan untuk melakukan pekerjaan apapun demi mencari makan dan menghidupi
mereka bertiga.
“Selamat siang Mr. Rob,” sapa
Andrew kepada penjaga toko mainan tersebut segera setelah ia masuk ke dalam
toko. “Saya datang membawa sepuluh dolar. Kotak musik tersebut masih ada kan?”
“Hohoho! Tentu saja nak. Aku sudah
berjanji padamu untuk tidak menjual kepada siapapun Kotak Musik Noel tersebut
jika kau berhasil membawa sepuluh dolar pada hari ini, dua minggu sebelum hari
Natal tiba,” ucap sang penjaga toko yang perawakannya sepintas mirip dengan
Santa Claus tersebut. Gemuk, berbadan besar, berjenggot putih tebal, dan senang
tertawa ‘hohoho’. Perbedaannya adalah Santa menggunakan pakaian serba merah,
sedangkan ia lebih suka menggunakan jaket tebal berwarna biru muda.
Mr. Rob bergerak perlahan mengambil
sebuah kotak musik dari salah satu lemari display
mainan antiknya. Kini, Kotak Musik Noel tersebut akan berpindah tangan menjadi
mlik Andrew.
“Boleh saya coba untuk mendengarnya
dulu, Mr. Rob?”
“Hohoho! Tentu saja nak,” balas Mr
Rob spontan sambil langsung membuka kotak musik tersebut.
Tidak sampai dua detik, lagu
instrumental The First Noel mulai
dimainkan dengan begitu merdu oleh kotak musik tersebut. Menurut cerita Mr.
Rob, kotak musik tersebut dibuat oleh seorang pemain piano bernama Noel puluhan
tahun yang lalu. Noel berarti Natal, dan Noel sangat menyukai lagu Natal klasik
tersebut sampai ia sangat berniat membuat kotak musik sendiri yang dapat
memainkan lagu tersebut dengan versinya sendiri.
“Indah sekali. Pantesan adikku ngebet pengen kotak musik ini sejak
dulu,” celetuk Andrew sambil menikmati alunan musik tersebut.
“Hohoho! Dan adikmu adalah orang
yang sangat beruntung karena mendapatkan kotak musik tersebut sebagai kado
Natal dari kakaknya. Harga mainan ini sebenarnya sangat mahal, tapi kau sudah
kuberikan diskon khusus,” ujar Mr. Rob sambil menutup kotak musik tersebut dan
memberikannya kepada Andrew. “Merry
Christmas, Andrew. Semoga Tuhan memberkatimu dan keluargamu selalu.”
“Merry Christmas juga, Mr. Rob. Senang berjumpa denganmu.”
Andrew mengucapkan terima kasih
kembali kepada Mr. Rob sambil berjalan ke arah pintu keluar. Namun, langkahnya
terhenti ketika seorang wanita muda berambut pirang membuka pintu masuk dengan
tergopoh-gopoh dan langsung berlari ke arah Mr. Rob.
“Kotak… Kotak musik… Hah…,” ucap si
wanita muda tersebut dengan nafas yang tidak beraturan. Tampaknya ia berlari
cukup jauh untuk cepat-cepat tiba ke tempat ini.
“Tenang sebentar, Mrs. Jane,” kata
Mr. Rob sambil menuangkan air putih ke gelas kosong yang ia taruh di dekat
mejanya. Mr. Rob selalu menyediakan beberapa gelas kosong dan teko berisi air
putih karena ia gemar mengobrol lama dengan para pengunjungnya yang tergolong
sedikit jumlahnya.
“Terima kasih, Mr. Rob,” ucap Mrs.
Jane sambil meminum air tersebut beberapa teguk. Nafasnya sudah mulai teratur
kembali. “Saya sudah membawa seratus dolar untuk membeli kotak musik tersebut.
Hari ini hari yang dijanjikan bukan?”
“Hohoho! Mrs. Jane, hari yang kita
janjikan adalah besok, bukan hari ini,” jawab Mr. Rob sambil mengisi satu gelas
lagi dengan air putih untuk ia minum sendiri, “Dan bukankah saya sudah bilang
untuk menunggu di rumah agar saya sendiri yang menghubungi anda? Sayang sekali,
tapi ada pengunjung saya yang telah membeli Kotak Musik Noel tersebut lebih
dulu.”
Raut muka Mrs. Jane mendadak pucat.
“Astaga! Bagaimana ini!?” Mrs. Jane
setengah berteriak, “Saya benar-benar lupa kalau saya baru bisa membeli kotak
musik tersebut apabila anak yang kau bicarakan itu gagal memenuhi kesepakatan
yang kau buat dengannya…. Saya benar-benar pelupa…”
Andrew yang tadinya akan pergi
keluar mendadak merasa tidak enak meninggalkan wanita muda tersebut. Ia
memandang Kotak Musik Noel sejenak, kemudian berjalan pelan menghampiri wanita
tersebut.
“Permisi,” sapaan Andrew sempat
mengagetkan Mrs. Jane yang kini menangis kecil, “Kalau boleh tau, kenapa anda
tampak begitu menginginkan kotak musik tersebut, Ma’am?”
“Ah, tidak… Tidak apa-apa. Saya
hanya penggemar benda antik saja,” jawab wanita tersebut dengan spontan sambil
menyeka air matanya. Sepertinya wanita tersebut tidak ingin menceritakan alasan
yang sebenarnya pada Andrew.
“Hohoho! Karena alunan lagu yang
sangat indah, seperti alunan dari kotak musik tersebut, berpotensi menyembuhkan
penyakit putra satu-satunya yang masih kecil.”
Mrs. Jane tampak terkesiap saat
mendengar Mr. Rob mengatakan hal tersebut. Andrew hanya memasang muka terkejut
sekaligus bingung.
“Dia anak yang membeli Kotak Musik
Noel tersebut, Mrs. Jane. Dia berhak tahu hal yang sesungguhnya,” ucap Mr. Rob
sambil minum dari gelasnya.
“Kenapa alunan musik dapat
menyembuhkan penyakit anak anda, mam?”
tanya Andrew dengan penasaran.
Mrs. Jane menenangkan diri sejenak
sebelum mulai berbicara.
“Ah… Baiklah kalau begitu…,” ucap
Mrs Jane sambil minum kembali sebentar, “Dokter di dekat daerah tempat tinggal
saya yang mengatakan hal tersebut. Penampilannya yang berantakan memang
membuatnya sulit dipercaya, tapi saya sudah mencoba berkonsultasi pada banyak dokter
di kota ini dan hasilnya mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya diderita
oleh putra saya dan bagaimana menyembuhkannya. Ia masih terbaring koma hingga
sekarang. Saya tidak punya pilihan lain selain mempercayai dokter tersebut…”
Andrew tampak kebingungan mendengar
hal tersebut. Mungkin terdengar aneh baginya karena penyakit dapat sembuh hanya
dengan mendengarkan alunan musik yang indah.
“Saya sudah mencoba untuk
mengunjungi beberapa konser musik terkenal ataupun meminta teman-teman saya
yang suaranya bagus untuk bernyanyi, namun hasilnya nihil. Hampir semua uang
saya telah habis hanya oleh mencari jalan untuk menyembuhkan putra saya, sampai
akhirnya saya mendengar ada kotak musik yang memiliki alunan lagu yang sangat
indah…”
“… Dan kotak musik itu kini menjadi
milik anda, Ma’am,” ucap Andrew
memotong penjelasan Mrs. Jane sambil menyodorkan Kotak Musik Noel padanya. Baik
Mrs. Jane maupun Mr. Rob terkejut mendengar hal tersebut.
“Kenapa…?”
“Ya, Ma’am. Aku percaya kok, kalau anda gak ngarang cerita aneh cuman
untuk mendapatkan kotak musik ini. Sesuatu dalam diri aku bilang kalau anda
lebih berhak memiliki benda ini daripada aku sendiri,” jelas Andrew.
Mrs. Jane menunduk sambil menerima
Kotak Musik Noel tersebut dengan ragu-ragu.
“Ta… Tapi… bukankah kotak musik ini
memiliki arti yang juga penting bagimu?” tanya Mrs. Jane spontan sebelum
menerima benda tersebut sepenuhnya dari Andrew. Ia sebenarnya sudah mengetahui
alasan Andrew menginginkan kotak musik tersebut dari Mr. Rob saat dulu membuat
kesepakatan pembelian dengannya.
Andrew terdiam sejenak, kemudian
melepaskan kotak musik tersebut tanpa ragu-ragu di atas kedua telapak tangan
Mrs. Jane.
“Aku cuman penggemar benda antik aja
kok, Ma’am,” ucap Andrew sambil
tersenyum.
Mendengar hal tersebut, Mrs. Jane
diam sejenak dan kemudian ikut tersenyum. Ia kemudian membayar Andrew seratus
dolar, namun hanya sepuluh dolar saja yang bersedia diterima olehnya. Mrs. Jane
kemudian berterima kasih kembali kepada Andrew dan Mr. Rob sebelum bergegas
pergi dari toko untuk pulang ke rumahnya.
“Hohoho! Apa kau yakin akan
merelakan kepergian kado Natal untuk adikmu tersebut, Andrew Wattson?” tanya
Mr. Rob sebelum Andrew beranjak pergi juga.
“Kita sesama manusia saling
membutuhkan, jadi bukanlah hal yang aneh kalau kita saling menolong, bukan?”
jawab Andrew dengan spontan sambil tersenyum singkat pada Mr. Rob dan langsung
pergi keluar melewati pintu toko.
Mr. Rob hanya tersenyum sambil
kembali minum dari gelasnya karena mendengar ucapan tersebut dilontarkan oleh
seorang bocah berusia sebelas tahun. Sementara itu, Andrew mencoba memikirkan
benda lain yang dapat menjadi kado Natal alternatif untuk adiknya sambil
berjalan pelan menyisir Ginger Street yang
mulai tertimbun salju tebal.
Hujan salju telah kembali turun.
***
“Honey, dari mana saja kamu pergi?”
Seorang pria muda yang perutnya
sedikit buncit dan berambut nyaris botak sedang menunggu dengan cemas di
rumahnya yang sederhana ketika istrinya mendadak muncul dari pintu masuk dengan
nafas terengah-engah.
“Hubby,
maaf tadi aku lupa memberitahumu sebelum pergi... Hah…”
“Baiklah Jane, tunggu sebentar.
Sekarang kamu masuk dulu dan minum sejenak sebelum mulai bercerita,” ajak sang
pria pada istrinya tersebut sambil membawanya ke ruang makan dan menuangkan teh
hangat.
Jane kemudian menceritakan
pengalamannya di toko mainan antik Mr. Rob. Tentang bagaiamana ia gagal
mendapatkan Kotak Musik Noel karena telah dibeli oleh orang lain, namun pembeli
tersebut memutuskan untuk menjualnya kembali kepada Jane.
“Dan anak tersebut hanya mau
meneima sepuluh dolar saja. Oh Hubby,
syukurlah masih ada orang baik di dunia ini.”
“Honey, kamu berbicara seolah-olah tidak ada lagi orang baik di
sekitarmu,” ucap suami Jane dengan sedikit ketus. Jane tertawa kecil melihat
pipi suaminya yang menggembung seperti balon.
“Tidak, sayangku Bernard. Itu hanya
ungkapan saja. Sekarang bagaimana kalau kita coba perdengarkan alunan suara
dari kotak musik ini pada putra kita?” tanya Jane sambil mengeluarkan Kotak
Musik Noel dari dalam tas kulitnya. “Oh, dan panggil juga Dokter Ed. Dia harus
ikut menjadi saksi pulihnya Danny.”
“Tentu, dan kita akan menjadi saksi
ketidakbecusannya sebagai dokter apabila ini masih gagal membangunkan putra
kita dari koma,” ucap Bernard sambil mulai beranjak untuk menelepon Dokter Ed.
Jane hanya tersenyum kecil
mendengarkan suaminya menelepon Dokter Ed sambil sedikit beteriak. Ia sangat
mengerti sekali kepribadian suaminya yang keras. Bernard bahkan menolak rawat
inap untuk anaknya yang koma di rumah sakit karena selain biayanya yang sangat
mahal, tidak ada satu dokterpun yang dapat menunjukkan kemungkinan putranya
akan sembuh. Pertemuannya dengan Dokter Ed - yang tampak tidak bisa mengurusi
dirinya sendiri karena penampilannya sering terlihat berantakan - sedikit
membangkitkan harapannya untuk berhasil membangunkan Danny dari koma misteriusnya.
“Ia akan tiba dalam waktu sekitar
satu jam,” ucap Bernard sambil menutup gagang telepon dengan sedikit keras.
“Sebaiknya kita mulai berdoa agar semua berjalan sesuai dengan yang kita
harapkan, Honey.”
Jane mengangguk pelan dan mulai
bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Dokter Ed, sekaligus memanjatkan doa
pengharapan keajaiban Natal untuk kesembuhan putranya.
***
Di
dalam ruangan yang dipenuhi boneka Teddy Bear dan mainan anak-anak, kedua orang
tua Danny dan juga Dokter Ed berdiri di samping tempat tidur di mana Danny
telah terbaring koma selama hampir satu bulan dengan selang infus.
“Ah, Mrs. Jane. Mungkin kita bisa
mulai sekarang, ritual penyembuhan Danny?” tanya Dokter Ed dengan suaranya yang
sedikit cempreng. Penampillannya memang tidak menunjukkan profesinya sebagai
seorang dokter. Berambut gondrong, kumis dan janggut yang tidak dicukur rapi,
dan pakaian yang sedikit kumal. Sebagian orang yang tinggal di dekat rumahnya
menjulukinya ‘dokter gadungan’ atau - julukan yang ekstrim - ‘dokter setan’.
“Ritual? Kau pikir ini semacam
acara aliran sesat ya!?” sergah Bernard dengan nada yang meninggi karena merasa
tersinggung. Dokter Ed hanya bergidik ngeri mendengar seruan Bernard.
“Hubby, sudahlah. Kamu pasti bisa mengerti bukan kalau Dokter Ed
memang kadang suka berbicara sedikit… tidak biasa,” ucap Jane sambil mulai
membuka Kotak Musik Noel. “Namun, maksudnya selalu baik. Dan kuharap, maksud
baiknya tersampaikan pada Danny.”
Tidak sampai dua detik, alunan lagu
The First Noel mulai mengalir dengan
lancar dari dalam kotak musik tersebut. Suaranya benar-benar terdengar sangat
indah, hingga semua yang ada di dalam ruangan tersebut terpukau diam sambil
mendengarkannya. Danny masih tampak tidak bergeming sedikitpun selama lagu
tersebut mengalir.
Jane mulai cemas ketika sampai lagu
tersebut mengalun selama empat menit, tidak ada reaksi apapun dari Danny.
Begitupula dengan Bernard yang sepertinya malah tampak ingin memukul Dokter Ed
karena usahanya selama ini seperti sia-sia. Dokter Ed tampak melamun sambil
sesekali menyenandungkan lagu tersebut, mengikuti irama dari kotak musik.
Setelah mengalun selama lima menit,
kotak musik tersebut berhenti ‘menyanyikan’ The First Noel karena ditutup oleh Bernard.
“Ini konyol. Sungguh amat konyol!”
seru Bernard sambil menarik kerah baju Dokter Ed. “Sudah kuduga, mana mungkin
hanya memperdengarkan suara musik saja bisa membangunkan putra kami dari
koma!?”
“Hubby, tenangkan dirimu,” ucap Jane sambil mencoba menenangkan
suaminya yang mulai kalap.
“Seharusnya aku tidak pernah ketemu
dokter gadungan seperti kau! Seharusnya aku tidak percaya kata-katamu yang
menyesatkan! Seharusnya… Seharusnya…,” Bernard sudah hampir melayangkan
tinjunya karena sudah nyaris gelap mata.
“… Lagunya dilanjutin lagi donk.”
“Ya harusnya lagunya dilanjutkan
lagi-… Danny!!” teriak Bernard saat menyadari siapa yang barusan berbicara.
Jane menutup mulutnya dengan kedua
tangannya seolah tak percaya ketika melihat Danny yang koma sebulan tiba-tiba
bangun dengan segar seolah tidak terjadi apa-apa padanya.
“Daddy, kok lagunya diberhentiin si? Danny kan suka banget lagunya,”
ucap Danny sambil menggembungkan pipinya. Persis seperti ayahnya yang juga suka
menggembungkan pipi ketika sedang ngambek.
Jane dan Bernard langsung serempak
memeluk tubuh bocah berusia enam tahun tersebut dengan erat. Keduanya tampak
menitikkan air mata bahagia.
“Terima kasih Tuhan. Keajaiban
Natal sungguh terjadi,” bisik Jane dengan terisak kecil sambil terus memeluk
Danny yang tampak kebingungan.
Dokter Ed yang melihat pemandangan
tersebut hanya tersenyum sambil sesekali menyenandungkan lagu The First Noel. “Nah kan dibilangin
juga apa,” gumamnya kecil sambil menggaruk singkat rambut gondrongnya.
***
Hanya
dalam waktu beberapa hari, Danny sudah sangat sehat dan dapat bermain-main
lempar bola salju dengan teman-teman yang mengunjunginya. Ia sendiri tidak
merasa kalau pernah sakit sebelumnya. Hanya saja, ia mengaku seperti tidur
panjang dan bermimpi cukup lama berpetualang di dunia yang semua penduduknya adalah
boneka Teddy Bear. Setelah lama berkeliling di dunia tersebut, seekor beruang
Teddy Bear dengan pakaian santa menjemput Danny dan membawanya melewati sebuah ‘lubang’ di
langit, diiringi lagu The First Noel.
“Dok, sepertinya saya harus minta
maaf karena tempo hari sempat meragukan kemampuan anda,” ucap Bernard saat
Dokter Ed datang untuk melakukan pengecekan rutin atas kondisi kesehatan Danny.
“Ah santai aja, Nard. Sudah biasa
kok,” jawab Dokter Ed dengan sok akrab sambil mencicip cemilan yang ditaruh di
meja ruang tamu tanpa dipersilakan. “Ada banyak penyakit yang masih belum dapat
dijelaskan secara medis, dan terkadang cara penyembuhannya juga di luar akal
sehat. Seperti penyakit Danny.”
“Tidak apa-apa. Saya akan tetap
meminta maaf dan,” ucap Bernard - tanpa memedulikan Dokter Ed yang langsung
melahap beberapa keping kue bola coklat - sambil mengeluarkan uang beberapa
puluh dolar, “Ini bayaran untukmu. Ijinkan kami membayar lebih sebagai tanda
maaf saya untuk anda.”
Melihat dirinya disodorkan beberapa
lembaran uang dolar, Dokter Ed hanya mengambil sedikit saja dengan sigap.
“No no no. Saya tidak merasa ada masalah apa-apa kok sama anda.
Justru saya ikut senang karena putra anda sudah sembuh. Saya hanya akan mengambil sesuai harga awal.”
“Tapi dok, saya tidak enak. Tolong
terima saja sisa uang ini,” mohon Bernard sambil menarik lengan Dokter Ed dan
menaruh seluruh uang dolar tersebut di tangannya. Namun, Dokter Ed langsung
menaruh kembali semua lembaran yang berlebih di atas meja.
“Sudah. Sudah. Tidak apa-apa kok,”
ucap Dokter Ed sambil kembali melahap sekeping kue bola coklat.
“Tapi-…”
“Ah begini saja!” seru Dokter Ed
sambil menjentikkan jarinya, memotong perkataan Bernard. “Bagaimana jika saya
minta Kotak Musik Noel anda saja sebagai bayarannya?”
Bernard sedikit terkesiap mendengar
hal tersebut, namun Jane mendadak muncul dari arah dapur dan menyambung pembicaraan sambil membawa beberapa snack coklat, “Hubby, kita berhutang budi pada Dokter Ed. Berikan saja kotak musik
tersebut.”
Bernard berpikir sejenak.
“Kurasa Danny sudah benar-benar
sehat. Ia tidak tampak bergantung pada lagu The First Noel yang dialunkan kotak musik tersebut sehari-harinya
kok. Mungkin saja Dokter Ed membutuhkannya untuk terapi suatu penyakit lain,”
saran Jane pada Bernard.
“Baiklah. Masuk akal juga. Berikan
kotak musik tersebut padanya, Honey,”
pinta Bernard pada istrinya. “Sekali lagi, terima kasih banyak dok. Saya harap
kotak musik tersebut dapat berguna bagi pasien lain yang mungkin sedang anda
tangani.”
“Oh, tentu. Tentu. Pasti berguna kok untuk
seorang pasien saya yang lain,” angguk Dokter Ed sambil menghabiskan kue bola
coklat yang tinggal tersisa dua keping saja. Ia tampak tersenyum puas,
sedangkan Jane tertawa kecil melihat kelakuan Dokter Ed.
“Kalau begitu tunggu sebentar ya
dok. Saya lupa di mana kotak musik tersebut saya taruh,” ucap Jane sambil
terburu-buru pergi ke kamar tidur. Bernard hanya menggeleng-geleng melihat
penyakit lupa istrinya kambuh lagi.
“Untunglah dia tidak pernah lupa
kalau saya adalah suaminya,” gumam Bernard.
***
Siulan
lagu The First Noel terdengar terus
menerus dari arah rumah sederhana Edward, atau lebih sering dipanggil Dokter Ed
oleh beberapa orang pasiennya.
Dokter Ed tampak membaca-baca
beberapa artikel kesehatan dan psikologi. Saat terlihat bosan, ia mengeluarkan
Kotak Musik Noel dan membukanya sehingga alunan musik The First Noel akan memenuhi seisi ruangannya, bahkan sampai
terdengar keluar rumah karena Dokter Ed sering membiarkan jendela ruangannya
terbuka.
“Ah, minum jus jeruk hangat sambil
makan kue bola coklat di hari bersalju memang sungguh nikmat,” gumam Dokter Ed
sambil berjalan santai mengelilingi ruang kerja di rumahya. Banyak artikel dan
buku-buku mengenai psikologi dan kesehatan manusia yang disusun rapih -
berkebalikan dengan penampilannya sehari-hari - di dalam lemari-lemari besar.
Saat sedang mengamati pemandangan
dari luar jendela, Dokter Ed mendapati empat orang anak kecil sedang berdiri
diam di luar jendela rumahnya. Sepertinya mereka tertarik akan alunan lagu The First Noel dari kotak musik
tersebut.
“AHHH! Dokter
setan keluar!!” teriak seorang anak kecil laki-laki yang gendut begitu melihat Dokter Ed yang sedang memperhatikan
dirinya dari jendela.
“Lariii!! Selamatkan dirimu sebelum
ditangkap dan dijadikan santapan malam Natalnya!” teriak seorang anak perempuan
lain sambil menarik lengan anak laki-laki yang lebih kecil di sampingnya.
“Tunggu!! Aku juga ta-... Aduh!!”
seorang anak laki-laki lain yang tertinggal tersandung batu dan terjatuh
sehingga terlambat berlari mengikuti ketiga temannnya.
“GHUAAA! Tertangkap kau!” seru
Dokter Ed yang melompat dari jendela rumahnya - ruangan kerjanya terletak di lantai
satu - ke dekat si anak laki-laki yang tertinggal tersebut.
“A… Ampun!! Jangan makan aku dok!!”
teriak si anak sambil menangis kecil.
“GHUAAA! Jangan bergerak!” teriak
Dokter Ed sambil langsung ‘menculik’ anak tersebut dan membawanya masuk ke
dalam ruangan kerjanya. Si anak kecil hanya menutup mata sambil meronta minta
dilepaskan dan menangis.
Di dalam ‘kediaman dokter setan’
tersebut, si anak kecil dilepaskan di salah satu sofa yang terletak di dekat
meja kerja Dokter Ed. Anak kecil tersebut mencoba untuk berlari, namun ia
langsung terjatuh karena kakinya terasa sakit. Lutut kanan kakinya ternyata
terluka dan mengeluarkan darah cukup banyak.
“Kan udah dibilang, jangan
bergerak. Kemarikan lututmu,” perintah Dokter Ed pada si anak kecil. Di
tangannya terdapat botol kaca berisi cairan berwarna hitam dan segumpal kapas.
Si anak kecil
yang ketakutan tersebut akhirnya pasrah dan membiarkan sang dokter mengoleskan
lutut kanannya. Dokter Ed menggunakan gumpalan kapas untuk mengolesi luka si
anak dengan cairan hitam di dalam botol kaca tersebut.
“Sakit gak?”
Si anak kecil
menggelengkan kepalanya perlahan. Dokter Ed mengartikannya sebagai tidak,
kemudian menyubit segumpal kapas kecil untuk menjadi penutup luka tersebut.
“Tunggu di sini
selama kurang lebih satu jam sampai obat tersebut benar-benar kering, Setelah
itu jangan ke mana-mana dan langsung pulang,” pinta Dokter Ed sambil menyimpan
obat dan kapas yang dibawanya ke lemari kaca di dekat ruang kerjanya.
“Umm…”
“Napa, bocah?”
tanya Dokter Ed sambil mengambil dua buah pulpen dan diangkatnya di pinggir
kepalanya, sehingga terlihat seperti ‘tanduk setan’.
“Umm, dokter gak
bakal jadiin aku santapan di malam Natal nanti?” tanya si anak kecil dengan
muka polos. Dokter Ed tiba-tiba tertawa dengan keras mendengar pertanyaan
tersebut.
“HAHAHA! Kalian
anak-anak benar-benar percaya kalau diriku ini dokter setan ya? Ya entah siapa
yang pertama menyebutku seperti itu, tapi aku masih normal dan tidak makan
daging manusia ataupun bocah kecil sepertimu,” jelas Dokter Ed sambil mengambil
toples berisi kue
bola coklat. “Nih, makan biar gak bosen,” ucap Dokter Ed sambil memberikan
sekeping kue
bola coklat kepada anak kecil tersebut.
“Umm, abisnya
temen-temen bilang dokter setan si, jadi aku percaya aja. Makasih ya dok,” ucap
si anak kecil sambil mulai menyantap kue
bola coklat tersebut. “Nyamm enak dok! Mau lagi donk dok.”
Dokter Ed hanya
tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya melihat bocah yang tadi
ketakutan setengah mati melihatnya sekarang malah enak-enakan duduk di sofa
sambil ikut memakan kue
bola coklat miliknya. Saat sang dokter melihat keluar ke arah jendela, salju
telah mulai turun dengan lebat.
“Bocah, berapa
nomor telepon rumahmu? Nanti biar aku hubungi orangtuamu untuk menjemputmu
saja. Di luar sudah mulai turun hujan salju,” kata Dokter Ed sambil
bersiap-siap untuk menelopon. Anak kecil tersebut kemudian memberitahu nomor
telepon rumahnya.
“Namaku Bryan,
bukan bocah, dok. Oh ya dok. Tadi kayanya ada suara musik bagus banget. Itu
dokter main musik apa?” tanya Bryan sambil mengunyah kue bola coklatnya.
“Oh itu. Bukan
aku yang main, bocah. Tapi kotak musik ini,” jawab Dokter Ed sambil mengangkat
Kotak Musik Noel yang terletak di mejanya. “Dan lagu yang dimainkannya adalah The First Noel, salah satu lagu Natal
klasik. Mau dengar lagi?”
Bryan mengangguk
dengan riang. Dokter Ed tersenyum sambil membuka kotak musik tersebut sehingga
alunan lagu The First Noel kembali
terdengar memenuhi seisi ruangan.
***
Semenjak
kejadian tersebut diceritakan Bryan pada ketiga temannya, mereka mulai sering
mengunjungi rumah Dokter Ed setiap hari. Awalnya, teman-teman Bryan masih belum
percaya karena takut bahwa Dokter Ed akan tetap diam-diam menculik dan memakan
mereka di malam Natal nanti.
Setelah Dokter Ed menunjukkan
perilaku baiknya dengan mengajarkan ilmu medis sederhana dan bahkan menceritakan
beberapa cerita menarik tentang Santa Claus - yang katanya benar-benar
dialaminya - seperti ia pernah dibawa melihat-lihat rumah Santa di Kutub Utara
ataupun Santa yang terjebak tak bisa keluar dari cerobong perapian rumahnya
karena terlalu gendut, teman-teman Bryan akhirnya mulai betah juga untuk sering
datang mengunjungi rumah Dokter Ed. Apalagi, mereka selalu disajikan kue bola coklat dan terkadang
diperdengarkan alunan musik dari Kotak Musik Noel. Orang tua mereka juga
terkadang ikut berkunjung untuk melihat keadaan anak-anaknya.
“… Dan setelah
itu, Rudolph menjadi pemimpin para rusa penarik kereta Santa. Nah, sekarang,
siapa yang mau belajar cara gampang menyembuhkan pilek biar hidungnya ga sampai
jadi merah banget kayak
Rudolph?”
Bryan dan ketiga
temannya tampak antusias dengan ajaran Dokter Ed.
“Dok! Dok!
Pengen denger lagi donk lagu The First
Noel-nya!” pinta teman perempuan Bryan.
“Hahaha! Oke
sebentar ya,” jawab Dokter Ed sambil segera membuka Kotak Musik Noel dan
membiarkan lagu The First Noel
mengalun. Semua yang ada di dalam ruangan kerja tampak terdiam menikmati musik
tersebut, hingga tiba-tiba bel rumah Dokter Ed berbunyi. Dokter Ed kemudian meminta
ijin kepada anak-anak untuk melihat siapa yang datang.
“Selamat siang,
anda…,” sang tamu memperhatikan sepintas penampilan Dokter
Ed yang berantakan serta rambut gondongnya, “Dokter Edward?” tanya
seorang pria gemuk berkumis putih lebat dan mengenakan pakaian formal rapih,
seperti seorang bangsawan kaya.
“Iya benar. Dan
anda?”
“Perkenalkan nama
saya-…”
“Paman Gareth!!”
teriak Bryan memotong salam perkenalan pria gemuk tersebut sambil berlari
diikuti ketiga temannya.
“Aha Bryan!
Rupanya kau sedang bermain di sini ya?” ucap Gareth sambil mengangkat
tinggi-tinggi keponakannya dengan tertawa kecil.
“Oh ya. Nama
saya Gareth, paman dari Bryan. Saya hanya kebetulan ingin berkunjung saat lewat
tadi mendengar suara musik The First
Noel. Bryan banyak bercerita tentang anda kepada saya”, ucap Gareth sambil sesekali memperhatikan rambut
gondrong Dokter Ed.
“Ah sama-sama.
Saya tidak berbuat apa-apa kok selain mengisi waktu bermain bersama dengan
bocah-bocah ini. Haha,” jawab Dokter Ed sambil tersenyum. “Kalau begitu, mari
masuk ke dalam untuk saya suguhkan teh.”
Gareth mengikuti
Dokter Ed masuk dan ikut duduk bersama di ruangan kerja yang cukup luas
tersebut. Sepertinya ia cukup terkejut karena kerapihan ruangan tersebut
berbanding terbalik dengan penampilan Dokter Ed yang ugal-ugalan. Gareth kemudian ikut menyaksikan
bagaimana Dokter Ed bercerita dan bermain bersama anak-anak, hingga mereka
memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Anda tidak
mengantar Bryan pulang?” tanya Dokter Ed saat Bryan dan seluruh teman-temannya
pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki. Rumah mereka memang tidak
begitu jauh karena masih satu wilayah dengan rumah Dokter Ed.
“Oh tidak. Saya
tidak tinggal bersama dengan Bryan dan kedua orangtuanya. Selain itu…,” ucapan
Gareth terhenti sejenak. Ekspresi mukanya mendadak menjadi sedih.
“Selain itu?”
tanya Dokter Ed sambil menyantap kue
bola coklat.
“Selain itu,
saya tidak memiliki hubungan darah dengan Bryan. Tepatnya, saya bukan paman
dari Bryan karena saya bukanlah saudara dari ayah ataupun ibunya. Saya hanyalah
bekas pembantu keluarganya saat Bryan masih bayi.”
Dokter Ed hanya
mengangguk sambil minum jus jeruk hangatnya.
“Terus kenapa
anda terlihat sedih? Apa anda dipecat karena ketahuan mencuri di rumahnya, atau
mungkin anda gagal berperan sebagai Santa Claus di malam Natal saat
memberikannya kado Natal?” tanya Dokter Ed sambil melihat dengan seksama tubuh
Gareth yang gemuknya menyaingi Santa Claus.
“Hahaha, saya
rasa alasan yang kedua cukup mendekati, namun terlalu panjang untuk saya ceritakan.
Saya bersyukur Bryan masih mengingat saya saat kami tidak sengaja bertemu di
taman kota beberapa waktu lalu. Kini, kami sering mengobrol nyaris setiap hari
di taman kota karena
sekolah sedang libur.”
“Hooo, jangan
bilang anda datang karena mau protes Bryan jadi jarang ketemu anda sejak dia
jadi sering main ke sini?” tanya Dokter Ed dengan nada santai. Gareth tertawa
kembali karena Dokter Ed selalu menanggapinya dengan to-the-point.
“Hahaha!
Sebenarnya tidak juga. Terus terang, saya memang kesepian sejak istri saya
meninggal setahun yang lalu dan ia mewariskan harta dalam jumlah cukup besar
hasil tabungannya selama ia bekerja. Sayang kami tidak memiliki keturunan,”
jawab Gareth sambil menghela nafas.
Dokter Ed diam
sejenak, kemudian mengambil sekeping kue
bola coklat, memakannya, mengambil Kotak Musik Noel, dan
membiarkan lagu The First Noel
mengalun beberapa saat sebelum mulai berbicara.
“Bagaimana
perasaan anda?” tanya Dokter Ed.
“The First Noel… Saya memang senang
dengan lagu Natal yang satu ini. Dan entah mengapa, saya merasa sangat tenang
mendengarkan alunan lagu dari
kotak muik ini,” jawab Gareth. Ekspresi sedihnya berganti menjadi ekspresi
tenang.
“Bagus. Kalau begitu, ini buat
anda,” ucap Dokter Ed sambil menutup Kotak Musik Noel dan menyodorkannya pada
Gareth yang terkejut mendengar pernyataan tersebut.
“Terima kasih Dokter Edward, tapi
saya tidak pernah punya maksud memiliki kotak musik tersebut dan lagipula,-…”
“Kotak musik ini awalnya juga bukan
milik saya. Namun mengingat kotak musik tersebut telah ‘menyembuhkan’
setidaknya dua orang pasien, saya rasa tidak ada salahnya memberikan kotak
musik ini dengan cuma-cuma.” Dokter Ed langsung memotong penjelasan Gareth dan menaruh Kotak Musik Noel di tangan
Gareth. “Jika anda merasa ada orang lain yang lebih membutuhkan kotak musik
tersebut, jangan ragu untuk memberikannya, seperti yang barusan saya lakukan
pada anda.”
Gareth yang masih tampak sedikit
kebingungan akhirnya pasrah menerima kotak musik tersebut sambil tersenyum
tipis.
“Tapi, apa yang akan anda katakan
pada anak-anak kalau mereka menanyakan kotak musik ini?” tanya Gareth.
“Hmm… saya akan bilang bahwa Santa
Claus sangat senang ketika saya memberikannya hadiah Natal,” jawab Dokter Ed
dengan spontan.
***
Setelah
berbincang-bincang dengan Dokter Ed, Gareth akhirnya memutuskan untuk pamit.
Dokter Ed mengantarnya hingga keluar dari pintu depan rumahnya.
“I'm
dreaming… of a white Christmas…
With
every Christmas card I write…”
Lagu Natal White Christmas dinyanyikan oleh sekelompok remaja di depan toko
yang terletak tidak jauh dari rumah Dokter Ed. Suara mereka begitu merdu dan
nyaring, hingga terdengar sampai ke depan rumah Dokter Ed.
“Merry Christmas, Dokter Edward. Senang berbicara dengan anda.”
“Merry Christmas juga, pamannya Bryan,” balas Dokter Ed yang
sepertinya lupa dengan nama Gareth.
“Ah ya, Dokter Edward. Tadi anda
mengatakan bahwa kotak musik ini telah menyembuhkan setidaknya dua orang
pasien. Boleh saya tahu siapa dan penyakit apa yang anda maksud?” tanya Gareth
dengan penasaran.
“Hmm, yang pertama adalah penyakit
koma misterius yang diderita oleh seorang anak kecil seumuran Bryan,” jawab
Dokter Ed dengan enteng sambil melempar sekeping kue bola coklat ke mulutnya tanpa ragu.
“Dan yang kedua?” tanya Gareth
dengan bingung.
“Yang kedua adalah penyakit ‘dokter
setan’ yang diderita oleh orang yang baru saja memberikan kotak musik tersebut
pada anda,” jawab Dokter Ed sambil memandangkan penglihatannya pada beberapa
orang yang sedang berjalan ke arah dirinya dari kejauhan.
Bryan ternyata datang kembali
sambil membawa mamanya dan temannya yang lain, Danny, sambil tersenyum senang.
“May
your days be merry and bright…
And
may all your Christmases be white…”
***
Gareth
membuka Kotak Musik Noel dan membiarkan lagu The First Noel mengalun dengan indah di ruang tamu di rumah
besarnya. Sudah dua hari sejak ia menerima kotak musik tersebut dari Dokter Ed,
dan ia terus menerus mendengarkan alunan lagu yang dihasilkan dari kotak musik
tersebut. Meskipun lagu tersebut sangat indah dan membuat dirinya tenang,
rasanya cukup sepi juga karena di rumah besar tersebut hanya ada ia sendiri.
“Mungkin sebaiknya aku
berjalan-jalan di luar. Sekarang sudah hampir malam dan besok adalah hari Natal. Di luar sepertinya jauh lebih ramai,” gumam Gareth
pada dirinya sendiri. Ia segera mengenakan jaket tebal dan membawa kotak musik
tersebut - dimasukkan ke dalam sebuah kotak kayu yang ukurannya lebih besar - sambil berjalan-jalan di luar.
Salju turun dengan tidak begitu
lebat. Di malam Natal ini tampak banyak orang masih berlalu-lalang dan sibuk
membawa banyak kado atau berbelanja makanan bersama dengan orang-orang
terdekatnya. Di depan beberapa toko tampak beberapa orang mengenakan pakaian
Santa Claus dan membagi-bagikan selebaran - mungkin berisi keterangan diskon
Natal dan tahun baru di toko tersebut - meskipun ada juga yang memberikan
coklat gratis kepada orang-orang yang lewat.
Gareth berjalan-jalan tanpa menggunakan mobilnya. Ia hanya
berputar-putar di jalanan, sambil mengamati orang-orang yang tampak senang akan
menyambut Natal dengan keluarga masing-masing.
“The
first Noel… The angel did say…
Was
to certain poor shepards in fields as they lay…”
Gareth mendengarkan lagu Natal The First Noel. Lagu tersebut
dinyanyikan dengan sangat indah oleh seseorang.
“In
fields where they lay a keeping their sheep…
On
a cold winter's night that was so deep…”
Gareth mencoba untuk menemukan asal
suara tersebut. Saat melihat ke sekelilingnya, ia melihat seorang anak
perempuan kecil sedang berdiri menatap patung Bayi Yesus, Maria, dan Yusuf yang
terletak di depan sebuah gereja. Tampaknya suara merdu tersebut berasal dari
anak kecil tersebut, sehingga Gareth memutuskan untuk mendekatinya.
“Noel Noel…
Noel Noel…
Born is the King of Israel…”
Born is the King of Israel…”
Anak perempuan tersebut masih terus
bernyanyi dan baru berhenti
saat ia menyadari bahwa
Gareth sedang memperhatikannya dari dekat.
“Kamu siapa!?” teriak anak tersebut, namun ekspresinya tidak menunjukkan rasa takut sama
sekali pada Gareth.
“Oh maaf kalau saya mengagetkanmu,
nak. Suaramu sangat bagus,” puji Gareth pada anak tersebut sambil memandang ke
sekitar anak tersebut. “Kamu tidak bersama orang tuamu di dalam gereja?”
“Papa mama gak ada. Mereka sekarang
lagi ngerayain Natal di Surga,” jawab si anak perempuan dengan polos. Gareth
sedikit terkejut mendengar hal tersebut. Ia mendadak teringat dengan almarhum
istrinya yang juga telah tiada setahun yang lalu.
“Saya turut berduka nak. Kamu hanya
sendirian di sini?”
“Iya cuman sendiri. Habis aku lagi
sebel sama kakakku yang ngasih aku kado Natal kaos kaki coklat Teddy Bear.
Padahal aku gak mau itu,” jawab si anak perempuan dengan mimik muka yang sedih.
“Astaga, nak. Rumahmu di mana?
Tidak baik berjalan-jalan sendirian saja saat sudah malam begini. Biar saya
antar kamu pulang,”
tawar Gareth padanya.
“Boleh. Tapi aku digendong di
punggung ya, paman Santa,” jawab si anak perempuan sambil tersenyum sedikit.
Gareth kembali terkejut karena dirinya disebut Santa - untuk kedua kalinya
secara tidak langsung dalam minggu ini - meskipun perawakannya mirip dengan
Santa Claus.
“Nak, kamu tidak takut? Saya kan
tentunya orang asing bagimu.”
“Aku percaya kok, paman Santa bukan
orang jahat,” jawab si anak perempuan sambil mendekati patung Bayi Yesus.
“Lagian, tadi aku sempet berdoa juga kepada Yesus supaya Santa datang ngehibur
aku sama kasih kado Natal yang aku pengen. Eh, gak taunya paman Santa udah ada
di deketku tadi,” ucapnya sambil mengelus patung Bayi Yesus.
Gareth tersenyum mendengar
perkataan dari anak kecil berhati polos tersebut.
“Oh ya, paman Santa mukanya kok
keliatan kesepian?” tanya si anak perempuan dengan mendadak sambil berjalan
mendekati Gareth. Matanya menatap lekat wajah Gareth.
“Hahaha, nak. Ya, paman Santa
sedang kesepian karena semua orang merayakan Natal dengan keluarganya
masing-masing,” jawab Gareth sambil berlutut agar dapat berbicara dengan lebih
mudah dengan anak perempuan tersebut, “Namun sayang paman Santa tidak punya
keluarga untuk merayakan Natal bersama, meskipun paman punya banyak uang dan
kado Natal.”
“Wah paman Santa punya banyak kado?”
tanya si anak dengan spontan.
“Hahaha betul nak,” ujar Gareth
sambil mengeluarkan sebuah kotak kayu
yang
di dalamnya terdapat Kotak Musik Noel, “Ini untukmu saja, nak. Paman Santa
sudah puas mendengarkan musik yang dihasilkan dari kotak musik di dalamnya.”
Mata si anak perempuan tampak
berkaca-kaca menerima kotak tersebut.
“Dalemnya kotak musik? Ini beneran
buat aku paman? Paman Santa emang tau ya kado apa yang lagi aku pengen. Hehe.”
Gareth tampak senang karena secara
kebetulan sepertinya ia memberikan anak tersebut barang yang ia inginkan.
“Iya nak. Beberapa
waktu yang lalu, seorang teman paman Santa yang punya toko mainan mengatakan
bahwa kita sesama manusia saling membutuhkan, jadi bukanlah hal yang aneh kalau
kita saling menolong. Apalagi sekarang malam Natal, dan paman Santa mau
memastikan kalau semua anak sudah menerima hadiahnya,” jelas Gareth yang mulai
berperilaku sebagai Santa Claus sungguhan.
“Kalau gitu, gantian aku yang
ngasih kado buat paman Santa. Tadi paman Santa bilang kesepian kan?” tanya si
anak perempuan dengan mata berkaca-kaca.
Gareth hanya mengangguk lemah
sebagai jawaban ‘ya’ atas pertanyaan tersebut.
“Ya udah, paman Santa sini ikut aku
sekalian anterin pulang ke rumah. Semua orang di rumah pasti seneng ngerayain
Natal bareng sama Santa Claus beneran,
soalnya aku cuman tinggal bertiga aja,” ujar si anak
perempuan sambil meminta digendong di punggung Gareth.
“Terima kasih nak,” ucap Gareth
sambil mengangkat si anak perempuan ke punggungnya yang besar.
“Paman Santa juga harus datang ya
besoknya pas hari Natal. Kakak laki-laki sama
bibiku yang lagi sakit pasti makin seneng,” ujar si anak perempuan sambil
memegang erat kotak kayu berisi
Kotak Musik Noel.
“Oh tentu saja kalau mereka mau. Oh
ya, nak. Siapa namamu? Paman Santa belum tahu,” tanya Gareth sambil mulai
berjalan dan menggendong erat anak tersebut.
“Namaku Anna.
Anna Wattson,” jawab anak
perempuan tersebut sambil membuka kotak kayu
tersebut untuk melihat isinya.
--- oOo ---
DISCLAIMER : All of the images serve as illustrative purpose only. They are NOT mine.
Personal Comment
Ini merupakan cerita Natal pertama yang gw buat, dan sekaligus salah satu cerpen terpanjang yang pernah gw buat (Jumlah kata dalam cerpen ini mencapai 5600 kata, sedangkan cerpen yang gw buat biasanya hanya berkisar antara 2000 - 3000 kata).
Sempat terpikir untuk memotong cerpen ini jadi 2 bagian, tapi kalau sampai dilaksanakan, mungkin makna cerita ini bakal jadi kurang terlihat. Bagi yang mungkin tidak sadar, ini alur perpindahan kepemilikan Kotak Musik Noel yang jadi inti ceritanya :
Mr Rob --> Andrew Wattson --> Mrs. Jane --> Dokter Ed --> Gareth --> Anna Wattson.
Notice something, right? Haha.
Oh ya, pada awalnya nama yang digunakan untuk Anna adalah Emma (Berarti lengkapnya Emma Wattson). Tapi, belakangan gw pikir kalau jadi dipakai nama itu, pembaca mungkin akan mengira kalau ini cerita nyata yang dialami oleh aktris Emma Watson (pemeran Hermione Granger dalam movie Harry Potter) dan malah membiaskan makna sebenarnnya dari cerita ini. Setelah dipertimbangkan, nama Anna akhirnya yang gw pakai sebagai nama dari adik Andrew.
Meskipun terlambat diposting karena beberapa hal (cerita ini sebenarnya sudah selesai ditulis tahun 2012 beberapa hari setelah Natal berlalu), gw mau mengucapkan :
Merry Christmas 2012
&
Happy New Year 2013
Semoga di tahun yang baru ini semakin banyak dapat rejeki dan lancar dalam melakukan kegiatan apapun ya. ^^ Happy holiday juga bagi yang berlibur.
Regards,
Alexander Blue
Nice story bro!
BalasHapusBerkembang terus di jalur fantasy yaah :D
I think that is the reason why you always have a place in blogging world.
The bright future is in front of us :D !
^ Thx so much brow.
BalasHapusYou too will have a very bright future brow because of all your nice stories brow. ^^b